Selasa, 30 Oktober 2012

Jaran Wedhok


Mat Pithi pancen bethike gak ketulungan. Masih bapakne kaji, Mo-Limo wis dilakoni. Korak, balon, germo, tukang parkir sak Kermil kenal kabe karo arek Dinoyo Gang Limo iki. Tapi sejak Suharto nggelundung, kelakoane rodok apik. Mat Pithi gak tau ugal-ugalan maneh. Lek ditakoni koncone, "Mat raimu sik mbalonan tah?". "Mathek ketubruk montor, tanganku kithing aku wis tobat cuuk...!", Mat Pithi ngotot. Modele morale arek iki melu reformasi pisan.

Saiki kesibukane Mat Pithi meguron nang Kaji Kholil, guru ngaji soko Ampel. Segala ilmu disinaui. Mulai ilmu kebal sampe ilmu gendhing wedhokan wis dikuasani. Jangkep limang wulan meguru, Mat Pithi diwekasi gurune "Mat..., ilmu sing mbok sinaui wis jangkep. Tapi lek koen kepingin ningkatno mane, koen topo wae ning Gunung Bromo.".

Ngeroso ilmune sik kurang, Mat Pithi berangkat topo ning Gunung Bromo. Arek iki bener-bener nuekat. Deweke topo terus gak atik turu nang guwo gumbul karo jerangkong, sundel bolong, tuyul, wis pokoke sembarang kalir. Pas dino ke-pitu, dalu pisan, ono wong tuwo muncul ning guwo mau iku. Wong tuwo iki langsung wae ngomong

"Mat..mat..!, gak ono wong sing sanggup topo koyok koen ning guwo iki". Mat Pithi cuek wae karo nguyu nang jero ati (gendeng arek iki...).

"Wis koen lungo wae...", si Mbah rodhok nyentak. Gak kalah banter Mat Pithi njawab "Mooh...!". "lho ojo ngonoo..rek...!", si Mbah mulai kalem kalah gertak. "Aku gelem ninggalno guwo iki tapi ono sarate..., kabeh penjalukanku kudu mbok kabulno", Mat Pithi negesno. Gak atik mikir dowo-dowo, si Mbah langsung ngomong "wis ngene wae, koen iso njaluk opo wae tak kabulno, tapi mek ping telu thok". Karo mikir gak sepiro suwih, Mat Pithi njawab "O.K...!"

"Mbah.., rupoku iki lak gak sepiro elek, eeh...! gak sepiro ganteng, aku kepingin duwe rupo koyok Cristiano Ronaldo pemaene Real Madrid ", Mat Pithi njaluk. Si Mbah njawab 

"Le..le..saiki koen muleh wae, tekan omah rupomu wis gak koyok meduro mane..!. Langsung wae Mat Pithi nginclik moleh numpak jaran sewoan. Tekan omah langsung ngoco.  "Wiik...guanteng men aku saiki rek...!", Mat Pithi kaget ndelok dapurane gak koyok biyen mane. Tapi Mat Pithi jik gak puas. Pikire mosok rai koyok Cristiano Ronaldo tapi awak koyok Tukul.

Sisuk bengine, Mat Pithi balik maneh nang Gunung Bromo nemoni Mbah daden-daden iku. "Mbah..mbah.., raiku wis guanteng koyok pemaen bal-balan eropa . Tapi awak-ku jek kuru lan tepos.  Dadekno awakku- koyok Ade Rai , ojok mek rai thok", Mat Pithi nerangno penjalukane sing ke-2.

Komat-kamit diluk si Mbah langsung ngongkon Mat Pithi moleh karo njamin lek awake mesti dadi dempal koyok Ade Rai . Tekan omah Mat Pithi langsung kocoan. Ndelok awake sing dadi dempal iku Mat Pithi seneng banget. Pikire cewek sak suroboyo mesti kepincut karo awake.

Urung suwih senenge, Mat Pithi moro-moro mecucu wae sak wise metu teko jeding. Rupane "manuke" gak melu dempal. Gamblese Mat Pithi jik podo karo biyen cilik lan bungkring. Mat Pithi dadine kepikiran terus. Njaluk nang Mbah maneh..., eman polahe jatahe wis kari pisan. Tapi timbangane urip duwe manuk sak upit, Mat Pithi nekat ngenthekno jatah penjalukane.

 "Mbah..mbah..mbah..." Mat Pithi jerit-jerit nang guwo Gunung Bromo . Dienteni sampek elek gak muncul-muncul Si Mbah iku. Tapi persis sepuluh menit sak gurungi magrib, Si Mbah muncul. "Mat..Mat.., jatah penjalukanmu ojo dientekno. Eman-emanen kanggo mbesuk-mbesuk" Si Mbah nguwei nasehat. "Mooh..mooh...!", Mat Pithi njawab karo matane rodhok mbrebes mili. "Mbah tolong Mbah..., awak-ku wis koyok Ade Rai lan raiku wis persis koyok Cristiano Ronaldo , tapi "barang"-ku sak umprit koyok slilit" Mat Pithi melas.

 "Tolong mbah dadekno "barangku" koyok jaranku sing tak sewo iki", Mat Pithi tambah melas. Modele arek sing biasa nekat iki "putus asa". "Aku isin Mbah...!", ambek suoro sing rodok serak gara-gara kudu nangis. Gak tego lan meksake si Mbah akhire ngabulno permintaane Mat Pithi. "Mat...gak suwih maneh barangmu koyok barange jaranmu iku". "Suwun..suwun..suwun Mbah..., iki sing terakhir koq", Mat Pithi girang. Sampek gak sempet pamit, Mat Pithi moleh, plenciiing...!.

Tapi gurung tekan omah, Mat Pithi mikir, kaget..., moto mbrebes mili..., cangkep mewek..., Mat Pithi nangis karo jerit-jerit "JUANCUUUK JARANKU WEDHOOK...".

Rabu, 24 Oktober 2012

Hutan larangan, cara masyarakat tradisional melestarikan hutan


 oleh Yusuf RInaldy
(03-04-2003)
”Seluruh kekayaan alam yang ada di bumi dan laut dimanfaakan untuk kesejahteraan rakyat”. Itulah bunyi kutipan yang tertera di kitab dasar negeri ini. Memang selayaknya jika kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat. Sebab memang rakyatlah pemilik negeri ini.
Namun apalah arti semua itu jika pemanfaatan kekayaan alam itu justru menimbulkan masalah baru. Pasalnya pemanfaatan yang dilakukan saat ini telah berubah menjadi perusakan sumber daya alam. Ironisnya akibat dari perusakan tersebut pada akhirnya dirasakan oleh generasi mendatang.
Hal tersebut saat ini sudah bisa kita saksikan dari kondisi hutan yang menaungi bumi Nusantara ini. Memang, hutan adalah kekayaan alam yang dapat menghasilkan banyak devisa bagi negara. Tapi seharusnya pemanfaatannya benar-benar untuk rakyat, bukan slogan semata.
Lho, apakah saat ini pemanfaatan itu bukan untuk kemakmuran rakyat. Pengolahan hutan saat ini memang bukan untuk kemakmuran rakyat, tapi untuk kesenangan pengusaha. Konsep pemanfaatan hutan ala HPH (hak pengusahaan hutan) adalah biang keladi kerusakan hutan. HPH telah memberi keleluasaan pengusaha untuk mengelola hutan. Tapi HPH pula yang memberi kekuasaan pengusaha untuk merusak hutan, walau dengan dalih mengelola hutan.
Sebenarnya berbicara tentang mengelola hutan, sama saja dengan membuka lembaran sejarah bangsa ini. Sebab sudah sejak lama nenek moyang bangsa Indonesia telah memanfaatkan hutan. Bahkan mereka menggantungkan hidupnya dari mengelola hutan. Tapi toh tidak sampai terjadi kerusakan hutan yang parah.
Jadi kita bisa dong belajar pada nenek moyang kita bagaimana mengelola hutan yang baik. Tepat sekali, kita harus belajar dari nenek moyang kita bagaimana bersahabat dengan hutan. Jika kita mau menengok kebelakang, sejarah telah mengajarkan bagaimana nenek moyang kita mengelola hutan.
Orang-orang dulu menganggap hutan sebagai sesuatu yang hidup. Hutan adalah mahluk bernyawa dan berperasaan. Sehingga dalam memperlakukannya juga harus menggunakan perasaan dan rasa persahabatan.
Di beberapa daerah masih berkembang cerita tentang mahluk halus penguasa hutan. Orang Jawa menyebutnya mbah sing mbaurekso alas (kakek penguasa hutan). Banyak orang menganggap hal itu sebagai kepercayaan yang berbau takhyul dan mistis.  Namun terlepas dari segala anggapan tersebut, kepercayaan itu membuat mereka bersifat sopan terhadap hutan.
Di berbagai daerah hingga kini masih berlaku konsep hutan larangan, yaitu hukum adat yang melarang masyarakat untuk memasuki wilayah hutan. Wilayah larangan itu, bisa jadi seluruh kawasan hutan atau salah satu bagian di dalam hutan. Barang siapa yang memaksakan diri memasuki kawasan hutan larangan, akan dikenai sangsi adat.
Sangsi yang lazim dikenakan adalah menyingkirkan atau mengasingkan pelanggar hukum. Bahkan sangsinya bisa dengan pengusiran si pelanggar dari wilayah desa atau kampung. Namun ada pula di beberapa daerah yang sangsinya adalah denda, itu pun bagi pelanggaran sifatnya ringan.
Konsep hutan larangan ini sebetulnya hampir sama dengan hutan lindung pada saat ini. Keduanya sama-sama menetapkan wilayah hutan sebagai daerah tertutup. Tidak boleh ada pengerusakan tanaman atau perburuhan hewan. Tapi ternyata konsep hutan lindung tetap tidak bisa melindungi hutan dari kerusakan.
Itulah bedanya, bukan pada konsepnya tapi pada manusia sekitar hutan yang berbeda. Dulu masyarakat begitu memegang teguh larangan memasuki hutan. Keyakinan akan mahluk halus penguasa hutan membuat mereka tidak berani melanggar aturan tersebut. Mereka takut akan sangsi yang bakal dikenakan atas pelanggaran itu. Mereka juga takut kesambet (terkena kutukan) penguasa hutan.
Bagaimana dengan sekarang. Saat ini tidak ada yang ditakutkan dari dalam isi hutan. Jangankan mahluk halus, mahluk nyata pun tidak ditakuti. Penjaga hutan yang dilengkapi senjata pun tidak ditakuti, apalagi hewan-hewan yang dulu dikenal buas sudah tidak ada artinya.
Dulu orang takut kepada hal-hal yang tidak nyata, tidak terlihat oleh panca indra. Anehnya ketakutan pada hal-hal maya itu justru menimbulkan kepatuhan yang luar biasa. Mereka benar-benar merasakan kehadiran mahluk-mahluk gaib itu, walau tidak pernah tahu bagaimana bentuknya.
Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Penjaga hutan adalah mahluk nyata yang dapat dilihat bentuknya, polisi, jaga wana, dan aparat lainnya. Ancaman atas pelanggarannya juga nyata, denda atau penjara. Namun kehadiran mahluk nyata sebagai penjaga hutan justru melunturkan rasa takut para perambah hutan, terutama perambah berskala besar. Hukum dan peraturan yang dibuat pemerintah juga dianggap angin lalu oleh mereka.
 Jika dilihat memang wajar jika para perambah hutan tidak lagi takut terhadap penjaga hutan. Sebab dengan sifatnya yang nyata, para perambah bisa dengan mudah berkopromi dengan penjaga hutan. Yang dibahas, apalagi kalau bukan bagi hasil.
Itulah letak perbedaanya. Dulu penduduk sekitar hutan tidak mempunyai kesempatan untuk main mata dengan ‘penjaga hutan’. Sifatnya yang gaib membuat penduduk hanya mampu mengira-ira bagaimana bentuk sang kakek penjaga hutan. Yang mereka tahu hanyalah, jika hutan dirusak, sang kakek penjaga hutan akan marah. Datanglah banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya.
Akhirnya yang timbul adalah ketakutan permanen yang menjadikan mereka sangat patuh pada adat. Ketakutan permanen itulah yang tidak ada pada perambah hutan dan penduduk sekitar hutan pada saat ini. Sehingga apapun jenis peraturan dan sangsi yang dibuat, tidak dapat membuat mereka benar-benar mematuhinya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan iming-iming imbalan uang. Tentu ketakutan dalam bentuk apapun akan sirna. 
Sudah bukan hal yang aneh jika rumah-rumah disekitar hutan dibangun dengan kayu-kayu pilihan. Hal ini tidak aneh karena bahan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di dalam hutan. Bahkan bukan tidak mugkin kandang ayam dan kambing pun dibuat dari kayu jati pilihan.
Hal itu sebetulnya wajar-wajar saja, orang-orang dulu pun membuat rumah, kandang sapi, lumbung padi, dan sebagainya dari kayu-kayu hasil hutan. Namun dulu, mereka menebang kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan, tidak lebih dari itu. Tidak ada perdangan kayu dalam jumlah besar, karena memang sangat mudah mendapatkannya.
Tapi keadaan sekarang sudah jauh berubah. Penduduk sekitar hutan menembang pohon untuk membangur rumah. Kemudian datanglah orang-orang kota dan tertariklah mereka akan kayu-kayu bermutu tinggi. Terjadilah transaksi dengan jumlah mengiurkan. Hingga akhirnya datanglah pengusaha besar dengan alat-alat berat, dan tentu akibatnya sudah sama-sama kita ketahui.
Sungguh sangat disayangkan hutan kita yang terkenal indah dan menawan ini akhirnya hanya tinggal impian dan harapan. Usaha nenek moyang dan orang tua kita selama bertahun-tahun melestarikan hutan, akhirnya sia-sia belaka, karena hutan mereka kini sudah tiada. 
 Ironis memang, kita dilahirkan di hutan, tapi justru kita sendiri yang merusak hutan itu. Seakan kita sedang membakar rumah kita sendiri dan jika sudah habis hendak kemanakah kita akan berteduh. Yang tahu jawabannya adalah kita sendiri. Sebab pada dasarnya hutan itu menuruti saja apa keinginan kita. Kita ingin merusaknya, hutan akan rusak. Kita ingin melestarikannya, hutan akan tumbuh lestari. Tentu kita semua berharap agar hutan kita tetap lestari.  Semua orang mengharapkan hutan kita lestari, sebab disitulah gantungan hidup kita berada.


Mencari Kerja di Dunia Maya




Oleh Yusuf Rinaldy
(13-6-2011)

Siang itu Randi benar-benar gelisah. Pemuda yang dua bulan lalu resmi menjadi Sarjana Ekonomi itu bingung harus berbuat apa selepas kuliah. Sebenarnya ia ingin berwiraswasta namun apa daya modal tidak ada. Sedangkan untuk membelah belantara Jakarta dengan menenteng ijazah, ia tak punya nyali. Tapi berdiam diri tentu tidak menyelesaikan masalah.Lalu apa yang harus ia lakukan ?
Saat berjumpa dengan seorang teman kuliahnya, Randi mendapat masukan agar ia mencari kerja melalui internet. Teman yang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta itu mengatakan bahwa dengan ngebrowsing di dunia maya dia bisa mencari kerja tanpa harus mendatangi satu per satu kantor di Jakarta.
******
Itulah sekilas gambaran betapa susahnya mencari kerja saat ini. Ditengah kondisi perekonomian Indonesia yang belum benar-benar pulih pasca krisis dunia, banyak bermunculan tenaga-tenaga kerja baru dari berbagai tingkatan pendidikan. Hal ini menyebabkan perebutan kue kesejahteraan bernama “pekerjaan” menjadi sebuah keniscayaan.
Mengandalkan cara mencari kerja konfensional dengan mendatangi satu per satu kantor sambil berharap diterima bekerja tentu sangat melelahkan. Selain itu harapan untuk diterima bekerja bisa dibilang kecil. Sebab belum diketahui apakah perusahaan-perusahaan tersebut sedang membutuhkan tenaga kerja atau tidak.
Di era teknologi seperti sekarang ini tentu sudah bukan jamannya lagi mendatangi kantor satu persatu sambil menyerahkan amplop berisi ijazah. Pasalnya ada cara lain yang lebih mudah untuk memperoleh pekerjaan, yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Perlahan namun pasti internet sudah menjadi kebutuhan di era modern ini. Mulai dari sekedar hiburan hingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih penting lainnya, bisa tersajikan melalui layar dunia maya. Bisa dikatakan internet telah berkembang seperti pasar yang mempertemukan pedagang dan pembeli, internet mampu mempertemukan pemilik kebutuhan dan penyedia pelayanan. Tak terkecuali para pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan tenaga keja.
Sejatinya setiap perusahaan selalu membutuhkan tenaga kerja baru sebab setiap saat pasti ada karyawan yang pensiun atau mengundurkan diri. Jadi sebetulnya lowongan kerja selalu terbuka bagi para pencari kerja. Namun seringkali para pencari kerja tidak mengetahui perusahaan mana yang sedang membutuhkan tenaga kerja baru.
Para pencari kerja seringkali melakukan usaha “pukul rata” dan coba-coba, yaitu mengirimkan surat lamaran ke banyak perusahaan. Hal ini yang membuat rasio perbandingan antara diterima atau tidak menjadi kecil. Sebab lebih sering para pencari kerja justru mengirim surat lamaran ke perusahaan yang tidak sedang membutuhkan tenaga kerja baru.
Dengan memanfaatkan internet para pencari kerja bisa mengetahui mana-mana perusahaan yang sedang membutuhkan tenaga keja baru, berikut apa saja kualifikasi yang dibutuhkan.
Hal ini tentu mempermudah para pencari kerja untuk menemukan apa yang mereka butuhkan. Mereka tidak perlu mengirim surat lamaran ke banyak perusaaan. Tetapi cukup mengirim ke perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja baru dengan kualifikasi yang cocok dengan apa yang dimilikinya.
Selain itu para pencari kerja juga bisa mempersiapkan diri lebih baik. Banyak informasi yang bisa didapatkan sebagai penunjang guna mempersiapkan diri menghadapi perusahaan yang akan membutuhkan tenaganya.
Di dunia maya, mereka bisa mencari data dan informasi tentang bagaimana menjadi karyawan yang baik. Mereka juga bisa mengetahui apa saja tantangan yang akan dihadapi setelah memasuki dunia kerja. Sehingga jika menghadapi suatu permasalahan saat sudah bekerja, mereka bisa mengira-ira apa yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Dengan bantuan dunia maya, anak muda seperti Randi, tidak perlu gelisah terlalu lama. Lebih baik Randi menyibukkan diri dengan mencari informasi dan peluang tanpa harus kehilangan banyak waktu. Selain itu proses belajar juga bisa dilanjutkan di dunia maya.
Namun yang harus disadari adalah bahwa yang tersaji di dunia maya hanyalah peluang, bukan kepastian. Yang harus dilakukan adalah mengubah peluang yang belum pasti itu menjadi sebuah keberhasilan seperti yang didambakan. Itu artinya meski teknologi bisa mempermudah dalam memperoleh pekerjaan, usaha dan kerja keras adalah yang paling utama. Tanpa usaha dan kerja keras bisa jadi peluang yang sudah di depan mata sirna begitu saja. (*) 

Setiap Habis Ramadhan



Rabu, 8 Dzulhijjah 1433 H

......Setiap habis ramadhan, hamba rindu lagi ramadhan. Saat-saat penuh beribadah, tak ternilai mahal harganya.......

 Kutipan lagu berjudul “setiap habis ramadhan” karya Bimbo itu sudah tak asing ditelinga kita. Lagu Bimbo seolah menjadi lagu wajib selama bulan ramadhan. Meski bermunculan banyak musisi baru yang mencipta lagu religi, namun lagu Bimbo seolah abadi. Mengapa. Salah satu jawabnya adalah lirik lagunya yang sarat isi.

Seperti lagu “setiap habis ramadhan”. Menceritakan bagaimana kerinduan seorang kepada ramadhan. Rindu beribadah dan melakukan kebaikan lainnya. Namun disayangkan banyak diantara kita yang justru berprilaku sebaliknya. Selepas ramadhan kembali pada kegiatan sebelum ramadhan. 

 Satu bulan penuh kita dilatih untuk melakukan kebaikan, sudah seharusnya selepas ramadhan kebaikan itu tetap kita laksanakan. Apa saja kebaikan yang harus tetap kita pertahankan? Menepati janji, adalah tindakan pertama yang dilakukan saat bulan ramadhan. Sebelum masuk bulan ramadhan kita sudah berniat berpuasa, bahkan setiap malam kita membaca niat dan janji itu. Selama satu bulan kita berusaha menaati janji yang sudah kita ucapkan sebelumnya. Sudah selayaknya setelah ramadhan kita tetap menepati janji yang sudah kita buat. Apapun bentuk janjinya dan kepada siapapun kita telah berjanji. Bisa kepada atsan, relasi, teman, atau keluarga. Tepatilah janji yang telah kita ucapkan. 

 Jujur, adalah tindakan yang harus kita pertahankan. Selama ramadhan kita dilatih untuk jujur, tidak sekalipun batal puasa meski tidak ada yang melihat. Sudah seharusnya kita juga jujur ditempat kerja. Meski tidak ada yang melihat dan mengawasi kita tidak akan melakukan kecurangan.

 Disiplin dan tepat waktu. Selama ramadhan kita selalu disiplin, bahkan terlalu disiplin. Sebelum maghrib kita sudah duduk didepan meja makan sehingga saat masuk waktu maghrib kita langsung berbuka. Seharusnya kebiasaan baik ini bisa diterapkan setelah bulan ramadhan. Sebelum jam kerja dimulai sebaiknya kita sudah berada di kantor atau lokasi kerja, sehingga kita tidak terlambat memulai aktifitas.