Senin, 17 Juni 2013

Kisah Petani dan Pengemudi Mobil

8 Sya'ban 1434 H



Suatu hari di sebuah desa terlihat sepasang suami istri petani sedang berjalan di pematang sawah. Cuaca  sedang gerimis saat itu. Sepasang suami istri itu saling bergandengan tangan agar tidak terpeleset saat berjalan di tanah lumpur yang licin. 


Sesampai di tepi jalan, dari kejauhan mereka melihat seorang pengendara sepeda motor sedang melintas. Sang istri berkata kepada suaminya, “Enak kali ya kalau kita bisa punya sepeda motor, bisa lebih cepat sampai ke rumah.”


Pengendara motor itu terus melaju saat sebuah mobil mendahului pengendara sepeda motor itu. Hujan gerimis membuat laju sepeda motor agak lambat. Sang pengendara terlihat basah kuyub oleh air hujan. Dalam hati pengendara sepeda motor itu berkata, “Alangkah nyamannya jika aku bisa mempunyai sebuah mobil, aku tidak harus berbasah-basahan seperti ini.”


Pengemudi mobil itu terus melaju. Sesaat kemudian ia memperlambat laju mobilnya saat melihat suami istri petani itu akan menyeberang jalan. Sambil tetap bergandengan mereka melambaikan tangan, tanda terima kasih kepada pengemudi mobil karena telah memberi kesempatan mereka menyeberang jalan. Dalam hati sang penyemudi mobil itu berkata, “Alangkah mesranya kedua petani itu, mereka berjalan bergandengan tangan meski basah kuyub oleh hujan dan kaki penuh lumpur sawah, aku tidak pernah merasakan kemesraan seperti itu bersama istriku yang selalu sibuk dengan kegiatan di luar rumah.”


Begitulah. Setiap kita selalu merasa bahwa orang lain lebih beruntung. Kita tidak pernah menyadari bahwa apa yang kita miliki adalah yang terbaik bagi kita. Yakinlah bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak pernah salah dalam memberikan rizki kepada hambanya. Maka selalu dan selalulahnkita bersyukur atas apa yang kita miliki.

Selasa, 04 Juni 2013

Kisah Petani dan Penjual Sate

25 Rajab 1434 H


Di ujung sebuah jalan terdapat sebuah warung sate. Setiap hari warung itu ramai dikunjungi pembali. Tak jauh dari warung itu tinggallah seorang petani miskin. Setiap hari sebelum makan ia selalu membawa nasi ke warung sate itu. Bukan untuk membeli, tapi ia mendekatkan nasinya ke pemanggang sate. Ia berharap asap dan bau sate akan membuat nasinya terasa lebih sedap. Hingga akhirnya kebiasaan itu diketahui oleh penjual sate itu. 


 “Hey, apa yang kau kerjakan disini,”kata penjual sate itu
 “Aku tidak punya uang untuk membeli satemu, aku berharap asap satemu bisa membuat nasiku lebih nikmat,”kata petani itu 

"Kau harus membayarnya, itu tidak gratis,"kata penjual sate itu. Petani itu menolaknya, ia merasa tidak mengambil apapun dari warung sate itu. Mereka berdua bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Akhirnya mereka sepakat untuk melaporkan hal itu kepada hakim.


Setelah mendengar keterangan petani dan penjual sate, hakim memutuskan bahwa petani itu harus membayar kepada penjual sate. Petani itu terkejut namun tidak bisa menolak. Ia pun membayar dengan uang koin yang ia miliki. Hakim meminta petani itu memasukkan uang koin ke dalam sebuah kotak. 


Hakim lalu menggoyang-goyangkan kotak berisi uang koin hingga terdengar suara gemerincing, seraya berkata,“Hey penjual sate, ini pembayaran untuk mu.” Lalu ia mengambil uang koin dan mengembalikannya kepada petani miskin itu.