15 Dzul Hijjah 1434 H
Pagi itu Rais dan teman-temannya
ngopi di warung depan pabrik. Namun tidak seperti biasanya obrolan mereka tidak
dipenuhi canda tawa. Obrolan mereka lebih bayak duka. “Kamu sudah itung-itung
berapa yang akan kamu dapat,”tanya Jumat kepada Rais.
“Percuma aku ngitung, jumlahnya
juga tidak banyak paling-paling hanya cukup untuk makan tiga bulan,”jawab Rais.
Mendung memang sedang menyelimuti
pabrik. Rais, Jumat dan kawan-kawannya sangat merasakan arti mendung itu.
Mungkin para direktur tidak. Mereka justru melihat mentari pagi bersinar diatas
langit pabrik.
Memang semula mendung itu adalah
mentari yang bersinar. Saat itu Rais dan kawan-kawannya melihat banyak
orang-orang asing datang ke pabrik. Melihat-lihat, tunjuk sana tunjuk sini. Kemudain
bule-bule itu rapat dengan direktur. Rais dan kawan-kawannya tetap
bekerja.
“Wah ada banyak bule dipabrik,”sela
Joko
“Iya pabrik ini mau dibeli sama
bule-bule itu, Jadi nantinya bos kita bukan Pak Handono lagi, tapi bule-bule
itu,” timpal Sarpin sambil berlagak sok tahu.
Pembicaraan tentang kedatangan
orang-orang asing semakin merebak. Bisik-bisik bahwa pabrik mau di jual kian
merebak. Timbul kekhawatiran, bagaimana nasib karyawan. Rais dan kawan-kawan
khawatir mereka bakal diberhentikan.
“Kalian jangan khawatir pabrik akan
bekerja seperti biasa, tidak ada perubahan,” ujar kepala personalia.
Rais, Jumat, Sarpin dan
kawan-kawannya tenang. Canda tawa kembali menghiasi warung kopi depan pabrik.
Sepak bola, perang, pencurian, kembali menjadi topik hangat pembicaraan
buruh-buruh pabrik itu. Kedatangan orang-orang asing menjadi hal yang biasa,
layaknya tamu-tamu kehormatan.
Mesin-mesin pabrik kembali
beroperasi. Kendaraan pengangkut hilir mudik. Derunya tetap memekakkan telinga.
Asap pabrik tetap mengepul. Asap dapur Rais dan teman-temannya juga ikut
mengepul. Kedatangan orang-orang asing yang semakin sering juga tidak
mengurangi kepulan asap pabrik. Asap dapur Rais dan teman-temannya juga tidak
berkurang.
Orang-orang asing itu kini semakin
betah di pabrik. Semula hanya sehari, lalu seminggu, kemudian sebulan,
berikutnya berbulan-bulan. Hingga pada suatu hari dipabrik diselenggarakan
acara besar. Rais, Jumat, Sarpin, dan teman-temannya ikut membantu menata
kursi, memasang hiasan di dinding dan menghias ruangan. “Ruangan ini harus
meriah,”ujar seorang staff administrasi.
Rais memasang tulisan-tulisan aneh di
dinding. Walau sudah sekolah dan bisa membaca, Rais tetap tidak mengerti arti
tulisan itu. “Itu bahasa asing, artinya Selamat Datang,”kata Mbak Warti yang
selama ini menjadi sekertaris direktur.
“Lho yang datang siapa dan yang pergi
siapa Mbak,”
“Yang datang direktur baru, orang
asing, karena itu tulisanya harus sesuai dengan bahasa direktur baru kita,”
Pabrik mempunyai direktur baru, orang
asing. Tinggi, hidungnya mancung, rambutnya pirang, namanya aneh. Rais susah
mengucapkanya. Tapi lama kelamaan Rais bisa juga mengucapkan nama direktur baru
itu.
Pabrik kembali bekerja. Orang-orang
asing juga tetap banyak berdatangan. Bahkan beberapa diantaranya menduduki
jabatan wakil direktur serta jabatan penting lainnya. Beberapa orang kepala
bagian juga digantikan orang bule. “Kita seperti di luar negeri saja ya, setiap
hari bertemu bule,”ujar Jumat di warung kopi yang disambut tawa teman-temannya.
Sarpin berdiri dan berbicara dengan
gaya dan logat seperti bule-bule itu. Teman-temanya kembali menyambut dengan
tawa. Warung kopi pagi itu bergairah, seperti juga diri Rais, Sarpin, dan
teman-temannya buruh pabrik itu. Matahari pagi bersinar dihati orang-orang pinggiran
ini.
Namun matahari tiba-tiba berubah
menjadi panas. Ya, pagi sudah berlalu. Siang datang membakar kulit Rais dan
teman-temannya. Siang itu perusahaan mengumumkan bahwa akan dilakukan
mekanisasi pabrik.
Dengan terbata-bata dan bahasa
Indonesia yang terbatas, direktur mengatakan bahwa persaingan bisnis semakin
tajam. Agar perusahaan tidak kalah dalam persaingan maka pabrik harus
dimoderenkan. “Saat ini kita tidak hanya bersaing dengan pasar lokal, tapi
pasar internasional, pasar dunia,”ujarnya berapi-api dan masih dengan bahasa
Indonesia yang terbatas.
Rais tidak paham dengan bahasa
direktur yang orang bule itu. Selain bahasa Indonesianya terbatas, direktur itu
juga banyak menggunakan istilah asing. Modern, mekanisasi, lokal, global, dan
sebagainya, Rais tidak paham.
Tapi Rais bisa merasakan arti
panasnya matahari siang itu. Sengatannya hanya berujung pada satu arti, ia dan
teman-temannya akan di PHK, di pecat. Tenaga mereka akan digantikan
mesin-mesin. Kabarnya mesin itu didatangkan langsung dari negara asal direktur
barunya itu.
Rais hanya tahu bahwa mesin-mesin itu
tidak lagi membutuhkan dirinya. Mesin-mesin itu hanya perlu orang pinter yang
memencet tombol dan mesin pun berjalan. Rais juga tahu bahwa gaji orang pinter
itu sama dengan setahun gajinya, Jumat, Sarpin dan teman-temannya.
Mesin-mesin itu memang bekerja dengan
baik. Asap pabrik mengepul. Tapi asap dapur Rais perlahan-lahan hilang. Padam.
Rais dan teman-temanya tidak mampu berbuat apa-apa. Perusahaan memang
memberikan uang pesangon. Tapi uang tidak tidak cukup untuk mengepulkan asap
darpur.
Kini mesin-mesin pabrik mulai
menderu. Suaranya begitu kencang seolah menantang suara canda tawa di warung
kopi yang mulai sepi. Tak ada lagi canda tawa di warung kopi depan pabrik.
Warung itu sepi karena memang tidak ada yang beli. Mesin tidak butuh kopi.
Mendung diatas pabrik sudah menjadi
hujan. Air sudah turun. Air mata Rais, Jumat, Sarpin dan teman-temannya. Juga
air mata istri dan anak-anak mereka. Mereka menangis tak tahu apa salah mereka.
Selama ini mereka sudah bekerja dengan baik. Tenaga mereka berikan kepada
pabrik. Keringat sudah mereka kucurkan, tapi mengapa air mata juga harus mereka
kucurkan.
Rais diam, tak tahu harus berbuat
apa. Oalah Gusti Penjengan mboten sare. Oh Tuhan Engkau tidak pernah
tidur. Engkau pasti tahu apa arti air keringat kami, Engkau juga pasti tahu apa
arti air mata kami. (Pulo Gadung, 3 Maret 2005)