Minggu, 20 Oktober 2013

Saat Pagi Beranjak Siang

15 Dzul Hijjah 1434 H 

Pagi itu Rais dan teman-temannya ngopi di warung depan pabrik. Namun tidak seperti biasanya obrolan mereka tidak dipenuhi canda tawa. Obrolan mereka lebih bayak duka. “Kamu sudah itung-itung berapa yang akan kamu dapat,”tanya Jumat kepada Rais.

“Percuma aku ngitung, jumlahnya juga tidak banyak paling-paling hanya cukup untuk makan tiga bulan,”jawab Rais.

Mendung memang sedang menyelimuti pabrik. Rais, Jumat dan kawan-kawannya sangat merasakan arti mendung itu. Mungkin para direktur tidak. Mereka justru melihat mentari pagi bersinar diatas langit pabrik.

Memang semula mendung itu adalah mentari yang bersinar. Saat itu Rais dan kawan-kawannya melihat banyak orang-orang asing datang ke pabrik. Melihat-lihat, tunjuk sana tunjuk sini. Kemudain bule-bule itu rapat dengan direktur. Rais dan kawan-kawannya tetap bekerja. 

“Wah ada banyak bule dipabrik,”sela Joko

“Iya pabrik ini mau dibeli sama bule-bule itu, Jadi nantinya bos kita bukan Pak Handono lagi, tapi bule-bule itu,” timpal Sarpin sambil berlagak sok tahu.

Pembicaraan tentang kedatangan orang-orang asing semakin merebak. Bisik-bisik bahwa pabrik mau di jual kian merebak. Timbul kekhawatiran, bagaimana nasib karyawan. Rais dan kawan-kawan khawatir mereka bakal diberhentikan.

“Kalian jangan khawatir pabrik akan bekerja seperti biasa, tidak ada perubahan,” ujar kepala personalia.

Rais, Jumat, Sarpin dan kawan-kawannya tenang. Canda tawa kembali menghiasi warung kopi depan pabrik. Sepak bola, perang, pencurian, kembali menjadi topik hangat pembicaraan buruh-buruh pabrik itu. Kedatangan orang-orang asing menjadi hal yang biasa, layaknya tamu-tamu kehormatan.

Mesin-mesin pabrik kembali beroperasi. Kendaraan pengangkut hilir mudik. Derunya tetap memekakkan telinga. Asap pabrik tetap mengepul. Asap dapur Rais dan teman-temannya juga ikut mengepul. Kedatangan orang-orang asing yang semakin sering juga tidak mengurangi kepulan asap pabrik. Asap dapur Rais dan teman-temannya juga tidak berkurang.

Orang-orang asing itu kini semakin betah di pabrik. Semula hanya sehari, lalu seminggu, kemudian sebulan, berikutnya berbulan-bulan. Hingga pada suatu hari dipabrik diselenggarakan acara besar. Rais, Jumat, Sarpin, dan teman-temannya ikut membantu menata kursi, memasang hiasan di dinding dan menghias ruangan. “Ruangan ini harus meriah,”ujar seorang staff administrasi.

Rais memasang tulisan-tulisan aneh di dinding. Walau sudah sekolah dan bisa membaca, Rais tetap tidak mengerti arti tulisan itu. “Itu bahasa asing, artinya Selamat Datang,”kata Mbak Warti yang selama ini menjadi sekertaris direktur.

“Lho yang datang siapa dan yang pergi siapa Mbak,”

“Yang datang direktur baru, orang asing, karena itu tulisanya harus sesuai dengan bahasa direktur baru kita,”

Pabrik mempunyai direktur baru, orang asing. Tinggi, hidungnya mancung, rambutnya pirang, namanya aneh. Rais susah mengucapkanya. Tapi lama kelamaan Rais bisa juga mengucapkan nama direktur baru itu.

Pabrik kembali bekerja. Orang-orang asing juga tetap banyak berdatangan. Bahkan beberapa diantaranya menduduki jabatan wakil direktur serta jabatan penting lainnya. Beberapa orang kepala bagian juga digantikan orang bule. “Kita seperti di luar negeri saja ya, setiap hari bertemu bule,”ujar Jumat di warung kopi yang disambut tawa teman-temannya.

Sarpin berdiri dan berbicara dengan gaya dan logat seperti bule-bule itu. Teman-temanya kembali menyambut dengan tawa. Warung kopi pagi itu bergairah, seperti juga diri Rais, Sarpin, dan teman-temannya buruh pabrik itu. Matahari pagi bersinar dihati orang-orang pinggiran ini.

Namun matahari tiba-tiba berubah menjadi panas. Ya, pagi sudah berlalu. Siang datang membakar kulit Rais dan teman-temannya. Siang itu perusahaan mengumumkan bahwa akan dilakukan mekanisasi pabrik.

Dengan terbata-bata dan bahasa Indonesia yang terbatas, direktur mengatakan bahwa persaingan bisnis semakin tajam. Agar perusahaan tidak kalah dalam persaingan maka pabrik harus dimoderenkan. “Saat ini kita tidak hanya bersaing dengan pasar lokal, tapi pasar internasional, pasar dunia,”ujarnya berapi-api dan masih dengan bahasa Indonesia yang terbatas. 

Rais tidak paham dengan bahasa direktur yang orang bule itu. Selain bahasa Indonesianya terbatas, direktur itu juga banyak menggunakan istilah asing. Modern, mekanisasi, lokal, global, dan sebagainya, Rais tidak paham.

Tapi Rais bisa merasakan arti panasnya matahari siang itu. Sengatannya hanya berujung pada satu arti, ia dan teman-temannya akan di PHK, di pecat. Tenaga mereka akan digantikan mesin-mesin. Kabarnya mesin itu didatangkan langsung dari negara asal direktur barunya itu.

Rais hanya tahu bahwa mesin-mesin itu tidak lagi membutuhkan dirinya. Mesin-mesin itu hanya perlu orang pinter yang memencet tombol dan mesin pun berjalan. Rais juga tahu bahwa gaji orang pinter itu sama dengan setahun gajinya, Jumat, Sarpin dan teman-temannya.

Mesin-mesin itu memang bekerja dengan baik. Asap pabrik mengepul. Tapi asap dapur Rais perlahan-lahan hilang. Padam. Rais dan teman-temanya tidak mampu berbuat apa-apa. Perusahaan memang memberikan uang pesangon. Tapi uang tidak tidak cukup untuk mengepulkan asap darpur.

Kini mesin-mesin pabrik mulai menderu. Suaranya begitu kencang seolah menantang suara canda tawa di warung kopi yang mulai sepi. Tak ada lagi canda tawa di warung kopi depan pabrik. Warung itu sepi karena memang tidak ada yang beli. Mesin tidak butuh kopi.

Mendung diatas pabrik sudah menjadi hujan. Air sudah turun. Air mata Rais, Jumat, Sarpin dan teman-temannya. Juga air mata istri dan anak-anak mereka. Mereka menangis tak tahu apa salah mereka. Selama ini mereka sudah bekerja dengan baik. Tenaga mereka berikan kepada pabrik. Keringat sudah mereka kucurkan, tapi mengapa air mata juga harus mereka kucurkan.

Rais diam, tak tahu harus berbuat apa. Oalah Gusti Penjengan mboten sare. Oh Tuhan Engkau tidak pernah tidur. Engkau pasti tahu apa arti air keringat kami, Engkau juga pasti tahu apa arti air mata kami. (Pulo Gadung, 3 Maret 2005)