oleh Yusuf RInaldy
(03-04-2003)
”Seluruh kekayaan alam yang ada di bumi dan laut dimanfaakan
untuk kesejahteraan rakyat”. Itulah bunyi kutipan yang tertera di kitab dasar
negeri ini. Memang selayaknya jika kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran
rakyat. Sebab memang rakyatlah pemilik negeri ini.
Namun apalah
arti semua itu jika pemanfaatan kekayaan alam itu justru menimbulkan masalah
baru. Pasalnya pemanfaatan yang dilakukan saat ini telah berubah menjadi
perusakan sumber daya alam. Ironisnya akibat dari perusakan tersebut pada
akhirnya dirasakan oleh generasi mendatang.
Hal tersebut
saat ini sudah bisa kita saksikan dari kondisi hutan yang menaungi bumi
Nusantara ini. Memang, hutan adalah kekayaan alam yang dapat menghasilkan
banyak devisa bagi negara. Tapi seharusnya pemanfaatannya benar-benar untuk
rakyat, bukan slogan semata.
Lho,
apakah saat ini pemanfaatan itu bukan untuk kemakmuran rakyat. Pengolahan hutan saat
ini memang bukan untuk kemakmuran rakyat, tapi untuk kesenangan pengusaha.
Konsep pemanfaatan hutan ala HPH (hak pengusahaan hutan) adalah biang keladi
kerusakan hutan. HPH telah memberi keleluasaan pengusaha untuk mengelola hutan.
Tapi HPH pula yang memberi kekuasaan pengusaha untuk merusak hutan, walau
dengan dalih mengelola hutan.
Sebenarnya
berbicara tentang mengelola hutan, sama saja dengan membuka lembaran sejarah
bangsa ini. Sebab sudah sejak lama nenek moyang bangsa Indonesia telah
memanfaatkan hutan. Bahkan mereka menggantungkan hidupnya dari mengelola hutan.
Tapi toh tidak sampai terjadi kerusakan hutan yang parah.
Jadi
kita bisa dong belajar pada nenek moyang kita bagaimana mengelola hutan yang
baik.
Tepat sekali, kita harus belajar dari nenek moyang kita bagaimana bersahabat
dengan hutan. Jika kita mau menengok kebelakang, sejarah telah mengajarkan
bagaimana nenek moyang kita mengelola hutan.
Orang-orang dulu menganggap hutan sebagai
sesuatu yang hidup. Hutan adalah mahluk bernyawa dan berperasaan. Sehingga
dalam memperlakukannya juga harus menggunakan perasaan dan rasa persahabatan.
Di beberapa
daerah masih berkembang cerita tentang mahluk halus penguasa hutan. Orang Jawa
menyebutnya mbah sing mbaurekso alas (kakek penguasa hutan). Banyak
orang menganggap hal itu sebagai kepercayaan yang berbau takhyul dan
mistis. Namun terlepas dari segala
anggapan tersebut, kepercayaan itu membuat mereka bersifat sopan terhadap
hutan.
Di berbagai daerah
hingga kini masih berlaku konsep hutan larangan, yaitu hukum adat yang
melarang masyarakat untuk memasuki wilayah hutan. Wilayah larangan itu, bisa
jadi seluruh kawasan hutan atau salah satu bagian di dalam hutan. Barang siapa
yang memaksakan diri memasuki kawasan hutan larangan, akan dikenai sangsi adat.
Sangsi yang
lazim dikenakan adalah menyingkirkan atau mengasingkan pelanggar hukum. Bahkan
sangsinya bisa dengan pengusiran si pelanggar dari wilayah desa atau kampung.
Namun ada pula di beberapa daerah yang sangsinya adalah denda, itu pun bagi
pelanggaran sifatnya ringan.
Konsep hutan
larangan ini sebetulnya hampir sama dengan hutan lindung pada saat ini.
Keduanya sama-sama menetapkan wilayah hutan sebagai daerah tertutup. Tidak
boleh ada pengerusakan tanaman atau perburuhan hewan. Tapi ternyata konsep
hutan lindung tetap tidak bisa melindungi hutan dari kerusakan.
Itulah
bedanya, bukan pada konsepnya tapi pada manusia sekitar hutan yang berbeda.
Dulu masyarakat begitu memegang teguh larangan memasuki hutan. Keyakinan akan
mahluk halus penguasa hutan membuat mereka tidak berani melanggar aturan
tersebut. Mereka takut akan sangsi yang bakal dikenakan atas pelanggaran itu.
Mereka juga takut kesambet (terkena kutukan) penguasa hutan.
Bagaimana
dengan sekarang. Saat ini tidak ada yang ditakutkan dari dalam isi hutan.
Jangankan mahluk halus, mahluk nyata pun tidak ditakuti. Penjaga hutan yang
dilengkapi senjata pun tidak ditakuti, apalagi hewan-hewan yang dulu dikenal
buas sudah tidak ada artinya.
Dulu orang
takut kepada hal-hal yang tidak nyata, tidak terlihat oleh panca indra. Anehnya
ketakutan pada hal-hal maya itu justru menimbulkan kepatuhan yang luar biasa.
Mereka benar-benar merasakan kehadiran mahluk-mahluk gaib itu, walau tidak
pernah tahu bagaimana bentuknya.
Sekarang
yang terjadi justru sebaliknya. Penjaga hutan adalah mahluk nyata yang dapat
dilihat bentuknya, polisi, jaga wana, dan aparat lainnya. Ancaman atas
pelanggarannya juga nyata, denda atau penjara. Namun kehadiran mahluk nyata
sebagai penjaga hutan justru melunturkan rasa takut para perambah hutan,
terutama perambah berskala besar. Hukum dan peraturan yang dibuat pemerintah
juga dianggap angin lalu oleh mereka.
Jika dilihat memang wajar jika para perambah hutan
tidak lagi takut terhadap penjaga hutan. Sebab dengan sifatnya yang nyata, para
perambah bisa dengan mudah berkopromi dengan penjaga hutan. Yang dibahas,
apalagi kalau bukan bagi hasil.
Itulah letak
perbedaanya. Dulu penduduk sekitar hutan tidak mempunyai kesempatan untuk main
mata dengan ‘penjaga hutan’. Sifatnya yang gaib membuat penduduk hanya mampu
mengira-ira bagaimana bentuk sang kakek penjaga hutan. Yang mereka tahu
hanyalah, jika hutan dirusak, sang kakek penjaga hutan akan marah. Datanglah
banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya.
Akhirnya
yang timbul adalah ketakutan permanen yang menjadikan mereka sangat patuh pada
adat. Ketakutan permanen itulah yang tidak ada pada perambah hutan dan penduduk
sekitar hutan pada saat ini. Sehingga apapun jenis peraturan dan sangsi yang
dibuat, tidak dapat membuat mereka benar-benar mematuhinya. Terlebih lagi jika
dikaitkan dengan iming-iming imbalan uang. Tentu ketakutan dalam bentuk apapun
akan sirna.
Sudah bukan hal yang aneh jika rumah-rumah
disekitar hutan dibangun dengan kayu-kayu pilihan. Hal ini tidak aneh karena
bahan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di dalam hutan. Bahkan bukan tidak
mugkin kandang ayam dan kambing pun dibuat dari kayu jati pilihan.
Hal itu
sebetulnya wajar-wajar saja, orang-orang dulu pun membuat rumah, kandang sapi,
lumbung padi, dan sebagainya dari kayu-kayu hasil hutan. Namun dulu, mereka
menebang kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan, tidak lebih dari itu. Tidak ada
perdangan kayu dalam jumlah besar, karena memang sangat mudah mendapatkannya.
Tapi keadaan
sekarang sudah jauh berubah. Penduduk sekitar hutan menembang pohon untuk
membangur rumah. Kemudian datanglah orang-orang kota dan tertariklah mereka
akan kayu-kayu bermutu tinggi. Terjadilah transaksi dengan jumlah mengiurkan.
Hingga akhirnya datanglah pengusaha besar dengan alat-alat berat, dan tentu
akibatnya sudah sama-sama kita ketahui.
Sungguh
sangat disayangkan hutan kita yang terkenal indah dan menawan ini akhirnya
hanya tinggal impian dan harapan. Usaha nenek moyang dan orang tua kita selama
bertahun-tahun melestarikan hutan, akhirnya sia-sia belaka, karena hutan mereka
kini sudah tiada.
Ironis memang, kita dilahirkan di hutan, tapi justru kita sendiri yang merusak hutan itu. Seakan kita sedang membakar rumah kita sendiri dan jika sudah habis hendak kemanakah kita akan berteduh. Yang tahu jawabannya adalah kita sendiri. Sebab pada dasarnya hutan itu menuruti saja apa keinginan kita. Kita ingin merusaknya, hutan akan rusak. Kita ingin melestarikannya, hutan akan tumbuh lestari. Tentu kita semua berharap agar hutan kita tetap lestari. Semua orang mengharapkan hutan kita lestari, sebab disitulah gantungan hidup kita berada.
Ironis memang, kita dilahirkan di hutan, tapi justru kita sendiri yang merusak hutan itu. Seakan kita sedang membakar rumah kita sendiri dan jika sudah habis hendak kemanakah kita akan berteduh. Yang tahu jawabannya adalah kita sendiri. Sebab pada dasarnya hutan itu menuruti saja apa keinginan kita. Kita ingin merusaknya, hutan akan rusak. Kita ingin melestarikannya, hutan akan tumbuh lestari. Tentu kita semua berharap agar hutan kita tetap lestari. Semua orang mengharapkan hutan kita lestari, sebab disitulah gantungan hidup kita berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar