Rabu, 24 Oktober 2012

Hutan larangan, cara masyarakat tradisional melestarikan hutan


 oleh Yusuf RInaldy
(03-04-2003)
”Seluruh kekayaan alam yang ada di bumi dan laut dimanfaakan untuk kesejahteraan rakyat”. Itulah bunyi kutipan yang tertera di kitab dasar negeri ini. Memang selayaknya jika kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat. Sebab memang rakyatlah pemilik negeri ini.
Namun apalah arti semua itu jika pemanfaatan kekayaan alam itu justru menimbulkan masalah baru. Pasalnya pemanfaatan yang dilakukan saat ini telah berubah menjadi perusakan sumber daya alam. Ironisnya akibat dari perusakan tersebut pada akhirnya dirasakan oleh generasi mendatang.
Hal tersebut saat ini sudah bisa kita saksikan dari kondisi hutan yang menaungi bumi Nusantara ini. Memang, hutan adalah kekayaan alam yang dapat menghasilkan banyak devisa bagi negara. Tapi seharusnya pemanfaatannya benar-benar untuk rakyat, bukan slogan semata.
Lho, apakah saat ini pemanfaatan itu bukan untuk kemakmuran rakyat. Pengolahan hutan saat ini memang bukan untuk kemakmuran rakyat, tapi untuk kesenangan pengusaha. Konsep pemanfaatan hutan ala HPH (hak pengusahaan hutan) adalah biang keladi kerusakan hutan. HPH telah memberi keleluasaan pengusaha untuk mengelola hutan. Tapi HPH pula yang memberi kekuasaan pengusaha untuk merusak hutan, walau dengan dalih mengelola hutan.
Sebenarnya berbicara tentang mengelola hutan, sama saja dengan membuka lembaran sejarah bangsa ini. Sebab sudah sejak lama nenek moyang bangsa Indonesia telah memanfaatkan hutan. Bahkan mereka menggantungkan hidupnya dari mengelola hutan. Tapi toh tidak sampai terjadi kerusakan hutan yang parah.
Jadi kita bisa dong belajar pada nenek moyang kita bagaimana mengelola hutan yang baik. Tepat sekali, kita harus belajar dari nenek moyang kita bagaimana bersahabat dengan hutan. Jika kita mau menengok kebelakang, sejarah telah mengajarkan bagaimana nenek moyang kita mengelola hutan.
Orang-orang dulu menganggap hutan sebagai sesuatu yang hidup. Hutan adalah mahluk bernyawa dan berperasaan. Sehingga dalam memperlakukannya juga harus menggunakan perasaan dan rasa persahabatan.
Di beberapa daerah masih berkembang cerita tentang mahluk halus penguasa hutan. Orang Jawa menyebutnya mbah sing mbaurekso alas (kakek penguasa hutan). Banyak orang menganggap hal itu sebagai kepercayaan yang berbau takhyul dan mistis.  Namun terlepas dari segala anggapan tersebut, kepercayaan itu membuat mereka bersifat sopan terhadap hutan.
Di berbagai daerah hingga kini masih berlaku konsep hutan larangan, yaitu hukum adat yang melarang masyarakat untuk memasuki wilayah hutan. Wilayah larangan itu, bisa jadi seluruh kawasan hutan atau salah satu bagian di dalam hutan. Barang siapa yang memaksakan diri memasuki kawasan hutan larangan, akan dikenai sangsi adat.
Sangsi yang lazim dikenakan adalah menyingkirkan atau mengasingkan pelanggar hukum. Bahkan sangsinya bisa dengan pengusiran si pelanggar dari wilayah desa atau kampung. Namun ada pula di beberapa daerah yang sangsinya adalah denda, itu pun bagi pelanggaran sifatnya ringan.
Konsep hutan larangan ini sebetulnya hampir sama dengan hutan lindung pada saat ini. Keduanya sama-sama menetapkan wilayah hutan sebagai daerah tertutup. Tidak boleh ada pengerusakan tanaman atau perburuhan hewan. Tapi ternyata konsep hutan lindung tetap tidak bisa melindungi hutan dari kerusakan.
Itulah bedanya, bukan pada konsepnya tapi pada manusia sekitar hutan yang berbeda. Dulu masyarakat begitu memegang teguh larangan memasuki hutan. Keyakinan akan mahluk halus penguasa hutan membuat mereka tidak berani melanggar aturan tersebut. Mereka takut akan sangsi yang bakal dikenakan atas pelanggaran itu. Mereka juga takut kesambet (terkena kutukan) penguasa hutan.
Bagaimana dengan sekarang. Saat ini tidak ada yang ditakutkan dari dalam isi hutan. Jangankan mahluk halus, mahluk nyata pun tidak ditakuti. Penjaga hutan yang dilengkapi senjata pun tidak ditakuti, apalagi hewan-hewan yang dulu dikenal buas sudah tidak ada artinya.
Dulu orang takut kepada hal-hal yang tidak nyata, tidak terlihat oleh panca indra. Anehnya ketakutan pada hal-hal maya itu justru menimbulkan kepatuhan yang luar biasa. Mereka benar-benar merasakan kehadiran mahluk-mahluk gaib itu, walau tidak pernah tahu bagaimana bentuknya.
Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Penjaga hutan adalah mahluk nyata yang dapat dilihat bentuknya, polisi, jaga wana, dan aparat lainnya. Ancaman atas pelanggarannya juga nyata, denda atau penjara. Namun kehadiran mahluk nyata sebagai penjaga hutan justru melunturkan rasa takut para perambah hutan, terutama perambah berskala besar. Hukum dan peraturan yang dibuat pemerintah juga dianggap angin lalu oleh mereka.
 Jika dilihat memang wajar jika para perambah hutan tidak lagi takut terhadap penjaga hutan. Sebab dengan sifatnya yang nyata, para perambah bisa dengan mudah berkopromi dengan penjaga hutan. Yang dibahas, apalagi kalau bukan bagi hasil.
Itulah letak perbedaanya. Dulu penduduk sekitar hutan tidak mempunyai kesempatan untuk main mata dengan ‘penjaga hutan’. Sifatnya yang gaib membuat penduduk hanya mampu mengira-ira bagaimana bentuk sang kakek penjaga hutan. Yang mereka tahu hanyalah, jika hutan dirusak, sang kakek penjaga hutan akan marah. Datanglah banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya.
Akhirnya yang timbul adalah ketakutan permanen yang menjadikan mereka sangat patuh pada adat. Ketakutan permanen itulah yang tidak ada pada perambah hutan dan penduduk sekitar hutan pada saat ini. Sehingga apapun jenis peraturan dan sangsi yang dibuat, tidak dapat membuat mereka benar-benar mematuhinya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan iming-iming imbalan uang. Tentu ketakutan dalam bentuk apapun akan sirna. 
Sudah bukan hal yang aneh jika rumah-rumah disekitar hutan dibangun dengan kayu-kayu pilihan. Hal ini tidak aneh karena bahan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di dalam hutan. Bahkan bukan tidak mugkin kandang ayam dan kambing pun dibuat dari kayu jati pilihan.
Hal itu sebetulnya wajar-wajar saja, orang-orang dulu pun membuat rumah, kandang sapi, lumbung padi, dan sebagainya dari kayu-kayu hasil hutan. Namun dulu, mereka menebang kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan, tidak lebih dari itu. Tidak ada perdangan kayu dalam jumlah besar, karena memang sangat mudah mendapatkannya.
Tapi keadaan sekarang sudah jauh berubah. Penduduk sekitar hutan menembang pohon untuk membangur rumah. Kemudian datanglah orang-orang kota dan tertariklah mereka akan kayu-kayu bermutu tinggi. Terjadilah transaksi dengan jumlah mengiurkan. Hingga akhirnya datanglah pengusaha besar dengan alat-alat berat, dan tentu akibatnya sudah sama-sama kita ketahui.
Sungguh sangat disayangkan hutan kita yang terkenal indah dan menawan ini akhirnya hanya tinggal impian dan harapan. Usaha nenek moyang dan orang tua kita selama bertahun-tahun melestarikan hutan, akhirnya sia-sia belaka, karena hutan mereka kini sudah tiada. 
 Ironis memang, kita dilahirkan di hutan, tapi justru kita sendiri yang merusak hutan itu. Seakan kita sedang membakar rumah kita sendiri dan jika sudah habis hendak kemanakah kita akan berteduh. Yang tahu jawabannya adalah kita sendiri. Sebab pada dasarnya hutan itu menuruti saja apa keinginan kita. Kita ingin merusaknya, hutan akan rusak. Kita ingin melestarikannya, hutan akan tumbuh lestari. Tentu kita semua berharap agar hutan kita tetap lestari.  Semua orang mengharapkan hutan kita lestari, sebab disitulah gantungan hidup kita berada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar