Rabu, 18 Mei 2011

Masjid Jami' Al Baitul Amin, Jember

Menjadi Ayah Yang Baik


Suatu hari saat pembagian rapor sekolah, di sebuah SD nampak berkumpul ibu-ibu wali murid. Tiba-tiba datang sebuah mobil dan turunlah seorang laki-laki setengah baya sambil mengandeng anaknya. Ibu-ibu wali murid langsung kaget dengan datangnya bapak dan anak itu. “Eh tumben ada bapak yang mau mengantar anaknya mengambil rapor, saat hari sibuk begini,”kata seorang ibu. “Belum tentu bu, siapa tahu bapak itu nggak kerja, alias yang mencari duit ibunya,”tukas ibu yang lain.

Sesaat kemudian semua wali murid memasuki ruang kelas dan menerima pembagian rapor anaknya. “Iya-iya, sebentar lagi saya datang. Saya lagi mengantar anak menerima rapor, sebentar lagilah, sepuluh menit lagi sudah selesai kok,” kata sang bapak menjawab telepon dari HP-nya. Sekitar lima menit kemudian, pembagian rapor selesai dan si bapak dengan bangga menerima rapor anaknya yang meraih peringkat dua dikelasnya.

*****

Peristiwa diatas seolah menjadi gambaran bagaimana keadaan hubungan anak orang tua sudah sedemikan parah. Di kota besar sudah bukan barang baru lagi seorang ayah hanya bertemu dengan anaknya seminggu sekali, saat hari Minggi atau hari libur. Itu pun jika sang ayah tidak sedang keluar kota.

Entah apa sebabnya sehingga bapak sebagai pemimpin keluarga seolah melupakan anaknya yang selama ini menjadi tujuan kerja kerasnya setiap hari. “Ah kan ada ibunya dirumah, kan ia sudah sekolah, kalau tidak kerja keras dari mana saya membayar uang sekolah anak saya”, itulah ucapan yang keluar saat sang ayah disodori pertanyaan mengapa sampai tidak pernah sempat menemani anaknya belajar.

Mungkin desakan ekonomi boleh menjadi alasan ketidak sempatan ayah menemani anaknya. Namun seringkali alasan-alasan itu justru dicari-cari sang ayah untuk sekedar menghindari kewajiban mendidik anaknya. Saat ini ada kesan ayah adalah menteri luar negeri yang bertugas mengurus segala hal luar rumah, termasuk mencari uang dan sebagainya. Sedangkan ibu lebih banyak menjadi menteri dalam negeri dengan tugas utama mengurus anak dan rumah. Lebih parahnya lagi saat sang ibu menyerahkan pengawasan anaknya pada seorang pengasuh anak atau pembantu. Lengkaplah sudah kesendirian sang anak ditengah keluarga, padahal seluruh komponen keluarga masih utuh.

Contoh peristiwa diatas menunjukkan bahwa, ayah mengantar anaknya kesekolah adalah sebuah peristiwa langka, bahkan bila perlu harus diabadikan. Memang peristiwa semacam itu sangat langka, itulah sebabnya harus terus dilestarikan. “Waduh kayak budaya tradisional saja perlu dilestarikan”. Lha ya memang hubungan anak-bapak memang sebuah tradisi sejak leluhur kita.

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, utamanya bagi mereka yang dibesarkan di alam pedesaan, bagaimana bapak kita mengajak anaknya bekerja di sawah. Saat bapak sibuk membajak, anak dengan riangnya menaiki punggung sapi atau garu (alat untuk membajak sawah). Atau bapak yang ikut larut dalam kegembiraan bermain layang-layang saat sore hari. Malam harinya bahkan bapak mengajari anaknya mengaji, setelah sholat maghrib berjamaah.

Itu kan dulu, sekarang anak saya bisa mencari hiburan sendiri, ada televisi, VCD, play station, dan permainan lainnya. Saat ini nampaknya peran bapak tidak lebih dari sekadar alat pemenuhan kebutuhan ekonomi anak. Bapak telah melupakan perannya sebagai alat pemenuhan kebutuhan jiwa dan rohani anak. Ironisnya hal itu justru disebabkan oleh perilaku si bapak sendiri. Mereka menganggap anak hanya butuh uang. Padahal anak membutuhkan pendamping, tempat mereka bertanya tentang segala hal yang ditemuinya di luar rumah.

Hilangnya peran pendamping inilah yang menjadi pangkal maraknya kasus kriminalitas remaja, penyalahgunaan narkoba, atau kasus seksual remaja. Anak-anak bertanya pada ‘jalanan’ atas pertanyaan yang muncul di benaknya, dan hasilnya kita tentu sudah bisa menduga. 

Lho kan sudah ada sekolah, ada guru, anak-anak bisa beranya pada mereka dong. Mungkin para orang tua, khususnya bapak lupa bahwa hanya sekitar tujuh jam seorang anak berada di dalam pengawasan sekolah. Itu pun tidak sepenuhnya tugas sekolah, karena orang tua tetap harus ikut mengawasi. Sekolah tidak lebih sebagai tempat anak belajar ilmu-ilmu akademik.

Apa harus saya, kan ada ibunya. Inilah kesalahan terbesar seorang bapak, jika hanya menyerahkan persoalan anak kepada ibu. Anak tidak hanya memerlukan ibu, tapi kedua-duanya. Sinergi antara bapak dan ibu dalam mendidik anak akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri anak. Ia merasa selalu mempunyai tempat bertanya dan pelindung. Inilah yang sebetulnya paling dibutuhkan anak atas orang tuanya, khususnya bapak, perlindungan dan pendampingan, disamping kebutuhan materi tentunya.  

Anak adalah harta terbesar yang dimiliki oleh orang tua. Anak pula sumber kebahagiaan orang tua. Sudah ribuan orang tua yang belimpah harta, namun tetap merasa hampa lantaran anak yang didambakannya tidak hadir dalam kehidupannya.

Jika kita memiliki emas berlian, intan permata tentu kita akan menjaganya dengan baik. Sebagai harta terbesar yang dimiliki sudah sewajarnya jika orang tua menjaganya melebihi harta benda yang dimiliki. Apapun harus dilakukan agar harta terbesar itu tidak lenyap dari diri orang tua.

Memang anak, harta terbesar itu tidak hilang dari pandangan orang tua. Ia tetap hadir dalam keseharian orang tua. Namun kehadirannya hanyalah berisi kehampaan semata, tak lebih dari sekedar bertemu muka. Padahal ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar pertemuan muka antara orang tua dan anak. Itulah pertemuan hati keduanya.

Namun ada kalanya, kekhawatiran orang tua tehadap anaknya terasa berlebihan. Anak dilarang berbuat ini dan itu. Semuanya harus sesuai dengan kemauan orang tua. Akibatnya jiwa anak menjadi terkekang. Ia seolah dikurung di rumahnya sendiri.

Memang boleh-boleh saja orang tua membentuk anak sesuai kemauannya. Namun akan lebih baik jika anak terbentuk menjadi dirinya sendiri. Untuk ini orang tua harus tahu betul apa yang diinginkan si anak. Peran ayah, sangat penting dalam membantu anaknya mencapai keinginananya itu.

Umumnya setiap anak selalu membanggakan figur sang ayah. Dialah orang pertama yang di jandikan contoh oleh anak. Dalam bertingkah laku, anak akan selalu menjadikan ayahnya sebagai rujukan pertama. Bila ia makan, ia akan melihat bagaimana cara orang tuanya makan. Bahkan kapan anak akan bangun pagi biasanya juga meniru jam berapa ayahnya bangun pagi.

Memang sangat besar peran ayah dalam pembentukan jiwa anak. Itulah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kepribadian anak sering sama dengan kepribadian ayahnya. Bila ayahnya gemar beribadah, biasanya si anak akan tumbuh menjadi anak yang gemar beribadah pula. Tapi jika si ayah gemar sekali begadang dimalam hari, anaknya pun akan tumbuh menjadi ‘amari’ alias anak malam hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, bila kita menemui seorang anak yang pintar dan baik, tentu keluar ucapan “anak pak A itu sudah pintar sopan pula”. Namun bila kita menemui anak nakal, pasti kita akan mengatakan “ anak siapa sih ini, nakal betul”. Hal itu wajar sebab tingkah laku anak selalu dikaitkan dengan orang tua.

Anak adalah cermin dari sifat ayah. Jika seorang anak tumbuh menjadi anak yang patuh dan berbakti pada orang tua, maka sifat itu tentu tak berbeda dengan keseharian ayahnya. Demikian pula jika seorang anak menjadi sangat nakal dan bengal, maka hal itu pun tentu tidak jauh dari sifat dan perangai ayahnya.



Sudah saatnya ayah-ayah yang kini masih disibukkan oleh urusan-urusan penting melihat kembali, bahwa ada hal yang lebih penting. Menemani anak memasuki masa remajanya. Kelak ayah-ayah itu akan dengan bangga melepas si anak memasuki usia dewasa, karana tugasnya menemani sudah selesai. Saat dewasa kelak si anak akan mengenang bagaimana dulu sang ayah membimbingnya hingga mencapai keberhasilan. Saat itulah si anak akan berucap, “Terima kasih ayah dan ibu yang telah membimbingku mencapai keberhasilan”.

Tentu semua ayah menginginkan kelak anaknya mengucapkannya. Dan hal itu tergantung bagaimana saat ini sikap sang ayah terhadap anak-anaknya. (yusuf abu alif)

Jumat, 06 Mei 2011

Omah Miring

Bosen ngontrak omah terus, Paidi kepingin tuku omah dewe. Masio cilik-cilikan nek omah dewe kan enak, gak atek pindah-pindah maneh. “Bosen cak pindah terus, kesel angkat-angkate,”jarene Paidi nek ditakoni tanggane. Nah, ketepakan ulan iki Paidi kenek arisan. Lumayan duike iso kanggo nambahi tuku omah.

Dino Sabtu isuk, Paidi budal nang pasar. Katene nggoleki Cak Wonokairun. Biasane Cak Kairun njagong nang warunge Yuk Ti.

“Waduh tak goleki sak Suroboyo gak ketemu tibake cangkrug nang kene,”jarena Paidi.

“Koen ikulo laopo ngoleki aku, katene ngutangi aku tah,”bales Cak Kairun.

“Lho gak ngono cak, iki onok binis….eh bisnis, lumayan isok kanggo ansel-ansel,”

“Bisnis opo seh, raimu koyok ngono katek bisnis barang, paling kulakan rondo,”

Paidi langsung ngomong nek katene nggolek omah. Cak Kairun iku kenelane akeh. Sakbendino penggaweane yo makelaran. Macem-macem, mulai makelaran tanah, omah, sepede motor, sapi, wedhus, petek, sampek makelar balon yo tau dilakoni. Tapi dekne gak gelem nek diarani germo.

“Jancuk, aku iku wong beriman rek, duduk germo. Aku cumak ngandani, nek katene nggolek balon nang kono, lha perkoro aku dikei duek karo balone, yo rejekiku,”jarene.

Ngerti Paidi katene nggolek omeh, Cak Wonokairun ngguyu.

“Lho ojok ngguyu peno, wong katene nggolek omah kok diguyu,”

“Gak ngono rek, koen iku lho tas oleh buntutan tah kok kepingin duwe omah, piro duekmu kepingin tuku omah iku,”

“Lha mangkane iku aku njalok tulung peno cak, nek iso aku golekno omah sing rodok miring, sebab duekku rodok cekak iki,”

Paidi ngomong nek cumak duwe duwek setitik. Masio mlebu gang yo gak popo, pokoke gak kudanan gan kepananasan.

“Wah nang Suroboyo rodok repot nek duweke sak mono, onok nang Gresik gelem koen,”

“Lho ojok adoh-adoh cak, nek iso cedek-cedek Pasar Wonokromo kene. Nek daerah Jemur utowo Wonocolo gak popo, utowo mburine pabrik kulit yo gelem aku,”

“Onok nang Menur, gelem tah koen,”

“Sampeyan kiro aku wong gendeng tah. Wis saiki ngene ae, iku duek sampeyan tompo kanggo panjer. Lha nek gol, kurange tak bayar mburi,”

Mari ngekekno duek panjer, Paidi langsung lungo nerusno penggaweane nang Pasar Wonokromo.

Dino Senen, persis telung dino, Paidi nggoleki cak Wonokairun maneh. Nakokno opo wis nemu omah pesenane dekne.

“Koen ojok kuatir. Ojok keon celuk aku iki Wonokairun nek gak iso mecahno permasalanmu. Opomaneh cumak perkoro omah, kueecilllll……Koen eroh, Pak Basofi iku pas nggolek omah kanggo anake, iku njaluk tulung aku. Cak Narto nggolek omah yo perantarane aku. Sampek-sampek Pak Susamto, Walikota Malang nggolek tanah yo njaluk tulung aku,”

“Berarti wis kesuwur Cak Wonokairun makelar nomor satu. Tapi omah ku wis oleh opo durung,”

“Lho koen gak percoyo karo aku tah, kok sik takon maneh,”

“Gak ngono cak, aku kan selak kepingin pindah omah. Sidane nang endi omahku cak,”

Cak Wonokairun ngandani omahe Paidi nang Jermursari gang limo, mburine pos hansip. Tapi masio wis dijelasno panggonanae, Paidi tetap gak jelas. Dekne njaluk diterno ndelok langsung omah sing dituku. Akhire teko Pasar Wonokromo langsung nang Jemursari gang limo.

“Tak jamin koen mesti seneng ndelok omahe,”

“Tapi rodok miring kan cak,”

“Koen ojok kuatir, persis koyok pesenanmu. Gak cumak rodok miring tapi wis arepe roboh,”

Paidi kaget setengah matek bareng ndelok omah sing arep dituku. Sebab omah iku wis gak rupo maneh, sebab arepe roboh mari diterak banjir.

“Lho kok koyok ngene cak. Omah rusak sampeyan dol nang aku,”jarene Paidi rodok ngamuk.

“Lha jare koen nggolek omah sing rodok miring. Iki las wis miring, malah arepe roboh,”

“Jancokkk…pancene wong tuek gak tau sekolah, sing tak maksud itu rodok miring regone cak, duduk koyok ngene,”

“Koen kan gak tau ngomong miring regone,”

Akhire Paidi gak sido tuku omah………….

Sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga



1. Saiyyidina Abu Bakar As Siddiq r.a.  Nama sebenarnya Abdullah Bin Abi Quhafah : Wafat pada tahun 13H/634M. Khalifah Pertama, Teman Setia Yang Banyak Berkorban

2.  Saiyyidina Umar bin Khattab r.a. Wafat pada tahun 14H/644M. Khalifah Kedua,    Pintar Membedakan Antara Haq dan Batil. Gelarnya Al Faruq

3.  Saiyyidina Uthman bin Affan r.a. Wafat pada tahun 35H/655M. Khalifah Ketiga, Keperibadian Yang Sampai Malaikat Berasa Malu. Gelarnya Dzun Nurrain

4.  Saiyyidina Ali bin Abi Talib r.a. Wafat pada tahun 41H/661M. Khalifah Keempat, Singa Allah Yang Dimuliakan Wajahnya Oleh Allah. Gelarnya Karamallahu wajha

5.  Saiyyidina Talhah bin Ubaidillah r.a. Wafat pada tahun 36H/656M. Shahid Yang Hidup

6.  Saiyyidina Zubair bin Al Awwam r.a. Wafat pada tahun 36H/656M. Prajurit Allah Pengiring Rasulullah

7.  Saiyyidina Abdul Rahman bin Auf r.a. Wafat pada tahun 32H/652M. Orang Yang Berniaga Dengan Allah

8.  Saiyyidina Saad bin Abi Waqas r.a. Wafat pada tahun 55H/675M. Pelempar Panah Pertama Pada Jalan Allah

9.  Saiyyidina Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah r.a. Wafat pada tahun 18 H/639M. Orang Kepercayaan Ummat

10. Saiyyidina Said bin Zaid r.a. Wafat pada tahun 51H/671M. Seorang Kekasih Kepada Allah Pengasih

Kamis, 05 Mei 2011

Cara Makan yang Benar Sesuai dengan Petunjuk Rasulullah SAW

*Oleh Ustad Oman Suratman
1. Memilih makanan yang halal dan thoyyib

“Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa-apa yang ada di bumi yang halal dan thoyyib, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagimu,” (QS : Al Baqoroh : 165)
Makanan halal tapi tidak thoyyib adalah haram, begitupun makanan thoyyib tapi tidak halal adalah haram juga hukumnya.

Ibnu Katsir berkata : “Thoyyib” adalah makanan yang tidak membahayakan badan dan akal (Ibnu Katsir, Juz I hal 254)

Sedangkan perlunya makanan yang halal adalah agar doa dan ibadah kita diterima Allah SWT sebagaimana sebuah hadits menyebutkan : “Seseorang yang morat-marit rambutnya dan kakinya dekil berdebu lalu menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata,”Yaa Rabbi”, sementara makanannya haram, minumanya haram, pakaiannya haram, lalu bagaimana mungkin doanya dikabulkan (HR Muslim)

Imam Dzahabu dalam Al Kabair menyebutkan perkataan Yusuf bin Tsabat : “Jika seseorang tekun beribadah, setanpun berkata kepada teman-temannya : Coba lihat dari mana makannya, jika makanannya haram maka setan berkata : biarkan ia bersusah payah dan giat beribadah, kalian tidak perlu repot-repot karena ketekunannya beribadah yang disertai dengan barang haram itu tidak berguna sama sekali.” 

Halal yang dimaksud adalah halal barangnya dan juga cara mendapatkannya. Walaupun barang atau makanannya halal dimakan, namun jika diperoleh dengan cara yang haram, maka haram pulalah makanan atau barang itu.

2. Membersihkan makanan dari kuman

Ketika Rasulullah SAW melihat tikus mati tercebut ke dalam mentega, beliau bersabda “Ambil bangkai itu dan semua mentega yang disekelilingnya, lalu buanglah dan pergunakan mentega kalian itu” (HR Bukhari)

Dari Anas bin Malik, Nabi SAW disuguhi kurma yang tersimpan lama, maka beliaupun memeriksa untuk membuang ulat kurma tersebut. (HR Abu Daud)

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda : “Apabila ada lalat yang jatuh pada minuman salah seorang diantara kalian, maka hendaklah ia benamkan ke  dalamnya, lalu membuangnya, karena pada salah satu sayap ada penyakit sedangkan sayap yang lain ada penawarnya” (HR Bukhari)

3. Wudlu atau cuci tangan sebelum dan sesudah makan

Dari Salman Al Farisi, Rasulullah SAW bersabda, “Berkah makanan adalah wudlu sebelum dan sesudah makan.” (HR Tirmidzi dan Abu Daud).

Beberapa ulama mengatakan bahwa hadits ini dhaif. Sehingga masih diragukan apakan Nabi SAW memang mengatakan seperti itu atau tidak. Namun mencuci tangan sebelum makan sangat dianjurkan. 

4. Berdzikir sebelum makan

Nabi SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka bacalah nama Allah SWT pada permulaanya. Dan apabila lupa membacanya maka hendaklah ia membaca ‘Bismillahi Awwaluhu Wa Akhiruhu’ (HR Tirmidzi)

Adapun hikmah dari penyebutan nama Allah SWT adalah mencegah setan ikut makan dengan kita. Dalam sebuah hadits :

Dari Jabir bin Abdullah, Nabi SAW bersabda, “Bila seseorang masuk rumahnya lalu menyebut nama Allah SWT pada saat masuk dan makan, maka setan berkata kepada teman-temannya, “Tidak ada bermalam dan tidak ada makan buat kita”. Tetapi jika seseorang masuk rumahnya dengan tidak menyebut nama Allah SWT, maka setan berkata kepada kawang-kawanya, “Kalian dapat bermalam. “Bila tidak menyebut nama Allah SWT saat makan, maka setan berkata kepada kawan-kawannya, “Kalian dapat bermalam dan makan malam.” (HR Muslim)

Pada riwayat yang lain disebutkan bahwa jika seseorang makan dan lupa menyebut nama Allah SWT, setan akan ikut makan bersamanya. Jika kemudian ia teringat dan membaca   ‘Bismillahi Awwaluhu Wa Akhiruhu’, maka setan akan memuntahkan apa yang telah dimakannya.

 5. Makan dengan tangan kanan

Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu makan, maka makanlah dengan tangan kanan, dan apabila dia minum maka minumlah dengan tangan kanan, karena setan makan dan minum dengan tangan kiri.”(HR Muslim)

Pada riwayat Muslim lainnya disebutkan, ada seorang laki-laki makan dihadapan Rasulullah SAW dengan menggunakan tangan kirinya. Lalu beliau bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Laki-kali itu menjawab, “Aku tidak bisa (kidal).” Rasulullah bersabda, “Tidak mampukah kamu? Sesuangguhnya yang menghalangimu adalah kesombongan.” Seketika itu laki-laki tersebut tidak bisa menyuapkan makanan ke mulutnya.

Jadi apabila ada seseorang yang kidal atau lebih cederung menggunakan tangan kirinya untuk makan, maka hendaklah ia berusaha agar bisa makan dengan tangan kanan. Selain itu lebih utama makan langsung menggunakan tangan (tanpa sendok). Beberapa dokter dan ahli kesehatan muslim pernah mengadakan penelitian, bahwa pada jari-jari tangan kanan mengandung enzim yang dapat membantu proses pencernaan. Sedangkan pada jari-jari tangan kiri mengandung antibiotik yang bisa membunuh kuman-kuman penyakit.

6. Makan dengan duduk

Dari Anas dari Rasulullah SAW bahwasanya Nabi SAW melarang seseorang minum dengan berdiri. Qotadah berkata, “Kami berkata, “Lalu bagaimana dengan makan? Nabi SAW menjawab, “Itu lebih jahat dan lebih buruk bila dilakukan dengan berdiri.” (HR Muslim)

Dari Abu Hurairoh, bersabda Rasulullah SAW,” Janganlah salah seorang diantara kamu makan dengan berdiri, barangsiapa yang kelupaan lalu minum berdiri, maka muntahkanlah!” (HR Muslim)

Pada riwayat Abu Daud disebutkan, “Rasulullah SAW duduk dengan berlutut atau menegakkan kaki kanannya dan duduk diatas kaki kirinya. Beberapa dokter muslim pernah mengadakan penelitian, bahwa makan dengan duduk seperti yang dicontohkan Nabi SAW dapat memperlancar proses pencernaan makanan di dalam usus.

7. Makanlah sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan

Nabi SAW bersabda, “Tidaklah anak Adam mengisi bejana yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya, kalau tidak maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernafas.”  (HR Ahmad)

Dari Ibnu Umar, bersabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya seorang muslim minum dengan satu usus dan orang kafir minum dengan tujuh usus.” (HR Muslim)
Para Ulama berkata : Banyak makan menyebabkan menimbunnya penyakit dalam tubuh, membuat malas beribadah dan menghilangkan atsar pada orang lain.

8. Minum air dengan tiga kali nafas

Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah SAW bernafas tiga kali di bejana saat minum seraya berkata, “Ini lebih segar dab lebih nyaman.” (HR Muslim)

9. Mengambil makanan yang jatuh

Dari Jabir bersabda Rasulullah SAW, “Setan senantiasa dataing pada saat seseorang makan, maka bila jatuh suapan di antaramu, maka hendaklah ia membuang kotoran yang menempel dimakanan itu, lalu memakannya dan jangan meninggalkan untuk setan.” (HR Muslim)

10. Menilati jari jemari sebelum mencucinya

Dari Ibnu Abbas, bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka janganlah mencucinya hingga ia menjilatinya atau dijilatinya,” (HR Bukhari dan Muslim)
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa makan di talam lalu menjilatinya maka talam itu akan memohon ampun untuknya.” (HR Tirmidzi)

11. Berdzikir sesudah makan

Adapun dzikir Nabi SAW sesudah makan adalah :
“Segala puji bagi Allah pujian yang banyak lagi baik dan membawa berkah. Pujian yang tidak mencukupi, yang tidak dititipkan dan yang tidak dibutuhkan orang Tuhan kami.” (HR Bukhori)

“Yaa Allah , Engkau telah memberi makan, minum, kekayaan dan Engkau pula yang melenyapkan, memberi hidayah, Engkau pula yang mengambilnya. Hanya kepunyaan-Mu segala puji atas semua yang telah Engkau berikan.” (HR Ahmad)

12. Menutup wadah makanan

 Nabi SAW bersabda, “Tutuplah geribah kalian dan sebutlah nama Allah SWT. Tutuplah wadah-wadah kalian dan sebutlah nama Allh SWT walaupun hanya dengan melintangkan sesuatu diatasnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Seandainya ada Perda Dilarang Tidak Sholat

Jum’at 5 Februari 2005 lalu DPRD DKI telah menetapkan Perda tentang larangan merokok di tempat umum. Perda ini memuat aturan yang mengharuskan para perokok melakukan hobinya ditempat yang telah ditentukan. Dengan kata lain para perokok dilarang merokok seenaknya di tempat umum. Kita semua, terutama masyarakat yang selama ini merasa terganggu dengan asap rokok menyambut baik pelaksanaan perda ini.

Selain melarang merokok di tempat umum, perda tersebut juga mengharuskan pengelola gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, mall, dan gedung-gedung lainnya menyediakan tempat merokok, mirip seperti yang ada di beberapa bandara.

Kini perda itu telah direvisi dan mengharuskan setiap gedung untuk menghilangkan ruang khusus merokok. Sehingga para perokok harus keluar gedung jika ingin menyalurkan hobi menghisap tembakau.

Saat membaca berita itu saya sedang berada di sebuah mushola di salah satu hotel terkenal di Jakarta. Kebetulan kantor tempat saya bekerja sedang ada acara di hotel di bilangan Sudirman Jakarta itu.

Dalam hati saya berpikir, seandainya ada perda dilarang tidak sholat, tentu akan lebih menggembirakan. Jika perda dilarang merokok mengharuskan pengelola gedung perkantoran, mall, atau hotel menyediakan smoking area, maka jika ada perda dilarang tidak sholat maka pengelola gedung tersebut harus menyediakan tempat sholat yang baik, nyaman, dan mudah ditemukan.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di hotel, perkantoran, atau pusat perbelanjaan, tempat yang bernama mushola pasti letaknya di basement, dekat tempat parkir. Tempat yang bernama mushola itu tidak lebih dari sebuah ruang kecil yang di dalamnya digelar karpet dan sajadah. Selanjutnya pada dinding sebalah barat ditempelkan kaligrafi yang menandakan itulah arah kiblat.

Sering saya bertanya, layakkah tempat semacam ini disebut sebagai mushola. Tempat kita sholat menghadap Allah SWT. Karpet dan sajadah yang kumal dan entah berapa lama tidak dicuci, membuat kita kurang nyaman saat menghadap Sang Khalik. Dan yang paling merasa tidak nyaman adalah kaum wanita, terutama yang kebetulah tidak membawa mukena. Pasalnya mukena yang disediakan di mushola itu umumya sudah tidak lagi bisa disebut putih.

Tidak adakah tempat lain yang lebih baik yang bisa digunakan sebagai tempat sholat. Atau pengelola gedung menganggap enteng arti sholat. Mushola di mall, hotel atau perkantoran umumnya sulit ditemukan. Keadaan ini membuat orang menjadi malas untuk melaksanakannya. Kita harus bertanya kepada beberapa orang satpam untuk bisa melaksanakan kewajiban sholat saat berada di mall atau gedung perkantoran. Keadaan inilah yang akhirnya membuat orang melupakan kewajiban itu.

Seandainya ada perda dilarang tidak sholat, maka tempat yang bernama mushola itu tidak lagi sempit, kumal dan susah ditemukan. Mushola akan berwujud ruangan ber-AC yang harum terang dan tertata rapi. Hamparan sajadah dan karpet yang bersih. Musaf Al Qur’an yang tertata dengan apik pada rak yang juga tertata rapi. Dan beberapa mukena putih bersih yang dilipat dan tersimpan dengan rapi. Semoga hal itu bisa tercapai. (yusuf abu alif)

Tukang Putu


Malam itu hujan turun rintik-rintik. Udara dingin membuat orang malas keluar rumah. Mereka lebih suka nonton televisi, atau tidur berselimut di kamar. Namun ditengah udara dingin dan hujan rintik-rintik, nampak seorang penjual kue putu sedang menjajakan dagangannya. Bunyi yang keluar dari kukusan, terdengar menemaninya. Itulah bunyi khas tukang kue putu.

Tanpa kenal lelah ia berjalan. Pikulan yang sedari tadi bertengger di pundaknya seolah tak berasa apa-apa. Padahal ia juga seorang manusia yang mempunyai rasa pegal dan capek. Tuhan juga mengaruniai tukang putu itu rasa kantuk. Udara dingin juga bisa membuat kulitnya bergidik. Tidak berbeda dengan orang-orang yang sedang tidur atau nonton televisi.

Akhirnya pundak tukan putu itupun tak kuat menyangga pikulan. Ia harus istirahat. Sebuah gardu terlihat di ujung gang. “Ah akhirnya aku bisa istirahat sejenak,”ujarnya dalam hati. Jam tangan usang di lengan kirinya sudah menunjukkan pukul 8.15 malam.

Tukang putu itu menghela nafas panjang. Ia merogoh saku celananya. Hanya ada beberapa lembar uang ribuan di genggamannya. Sedari sore hari ia berdagang, hanya uang itulah yang diperolehnya. Hujan masih tetap turun. Biarpun tidak terlalu deras, namun sudah cukup membuat orang malas keluar rumah. Tukang putu tak tahu apakah akan kembali memperoleh uang, atau ia harus pulang dengan uang itu.

Sejenak kemudian, terlihat seseorang datang. Sebuah tas yang agak besar tergantung di pundaknya. Tukang koran, orang yang datang itu adalah penjual koran yang baru pulang dari menjajakan dagangannya.

Terlintas di hati tukang putu harapan mendapat rejeki. Dan ternyata Tuhan masih menyayanginya. Penjual koran itu membeli satu bungkus kue putu.

“Baru pulang Mas,” sapa tukang putu.

“Iya,” jawab tukang koran singkat.

“Dagangannya laris ya mas,”

“Ya, Alhamdulillah, sejak pagi tadi banyak yang membeli koran. Orang-orang kepingin tahu tentang kasak-kusuk rebutan kursi presiden. Belum lagi berita tentang orang yang makan orang, atau polisi yang nembak tukang ojek. Terus tentang artis-artis yang kerjanya kawin cerai melulu. Ndak tahu itu, artis kok kerjanya jadi bandar narkoba,”

“Tapi kan sampeyan juga yang senang, banyak orang mencari dagangan sampeyan,”

“Betul, Mas, paling tidak besok pagi anak saya bisa makan kenyang, ndak tahu kalau lusa. Lha sampeyan sendiri bagaimana mas, laris dagangannya,”

Tukang putu menghela nafas. Sambil meracik kue putu, ia melanjutkan obrolannya dengan tukang koran. Nafas panjangnya seolah mengatakan bahwa nasibnya agak beda dengan tukang koran. Sejak lepas Ashar ia berangkat, baru seperempat dagangannya yang laku.

“Biasanya kan kalau dingin-dingin begini orang banyak yang kepingin beli kue putu mas, kan enak buat teman minum kopi,” ujar tukang koran.

“Itu dulu mas, sekarang beda. Sekarang orang lebih suka makan mie instan atau nasi goreng instan semuanya serba instan,”

Tukang koran lalu menerima sebungkus kue putu. Ia pun segera berlalu, pulang dan makan kue putu bersama anak istrinya. Tukang putu kembali dalam kesunyian. Ia angkat pikulan dan kembali berjalan, menyusuri gang dan jalan.

Bunyi kukusan kembali terdengar. Hujan rintik-rintik masih turun menebar hawa dingin. Dan orang-orang makin merapatkan selimutnya, tapi tidak sambil makan kue putu. Mungkin hanya tukang koran yang  saat ini makan kue putu.

Tukang putu terus berjalan. Di depan teras sebuah rumah, ia melihat beberapa orang sedang asyik ngobrol. Tapi sayang, mereka tidak menghiraukan kehadiran tukang putu. Bunyi kukusan berlalu begitu saja. Benar, mereka tidak membeli kue putu. Orang-orang itu berkumpul dengan ditemani sepiring kue. Ada pula yang makan mie instan.

Memang kemajuan jaman telah membuat tukang putu tersingkir. Dagangannya tidak lagi digemari orang. Kalaupun ada yang beli, itu hanya sekali-sekali sekedar ingin tahu rasanya. Kemajuan jaman telah meminggirkan pedagang kue putu. Mungkin juga terjadi pada pedagang kue yang lain.   

Kue-kue toko dan makanan instan lebih disukai, bahkan oleh anak dan istri tukang putu sendiri. “Lalu siapa yang membeli daganganku, apakah setiap hari aku harus pulang dengan hanya beberapa lembar uang ribuan,” tanya tukang putu pada dirinya sendiri.

Entahlah, tulang putu tetap berjalan. Bunyi kukusan, khas tukang putu masih tetap terdengar. Paling tidak bunyi itu membuat kuping tukang putu tidak telalu kesepian. Bunyi itu bukan hanya teman kuping, tapi juga desah nafas tukang putu dan keluarganya.

Tapi sayang, bunyi itu sekarang sudah megap-megap. Kukusan itu tak mampu lagi bernafas panjang. Terbetik pikiran untuk mengganti dagangannya. Tapi tentu tidak segampang itu. Harus berdagang apa.

Tukang putu kembali berjalan. Bunyi kukusan tetap setia menemaninya menyusuri malam. Hujan masih turun rintik-rintik, makin lama semakin besar. Tukang putu berteduh di sebuah warung yang sudah tutup. Jam tangan usangnya sudah menujukkan pukul 10.15 malam.

Tak berapa lama datang seorang penjual bakso. Bunyi mangkuk dipukul nyaring terdengar.  Hujan yang makin deras membuat tukang bakso itu berteduh di tempat itu.

“Kehujanan Mas,”sapa tukang bakso.

“Iya, tadinya sih cuma gerimis, eh malah jadi besar,”

“Tapi dagangannya laris kan mas,”sela tukang bakso

Tukang putu tertawa. Walau terkesan memaksa, tapi cukup menghangatkan udara yang makin dingin. Tukang bakso menyalakan rokok. Tukang putu tidak merokok, karena ia sudah berhenti merokok.

“Wah saya sudah tidak merokok lagi,”jawabnya.

“Menjaga kesehatan ya mas,”

“Bukan begitu, makin lama dagangan saya makin tidak laku. Orang makin jarang makan kue putu, seminggu sekali itupun sudah bagus,”

“Lha terus apa hubungannya dengan sampeyan berhenti merokok,”

“Lho harga rokok kan makin mahal, kalau terus-terusan buat beli rokok lha anak istri saya makan apa,”

Mereka kembali tertawa. Suara tawa mereka masih kalah kencang dibanding suara hujan yang makin deras. Tukang putu tetap tertawa. Walau dagangannya hanya laku seperempat, ia tetap tertawa. Sebab ia tidak tahu apakah besok masih bisa tertawa.

Hujan makin deras.  Tukang putu masih berteduh di warung yang tutup itu. Sebenarnya ia ingin segera pulang. Ia pasrah dengan uang yang diperolehnya. Hujan yang makin deras membuat orang tambah malas keluar rumah, apalagi membeli dagangannya.

Entahlah.... Apakah beberapa lembar uang ribuan itu cukup untuk makan istri dan anaknya. Tukang putu tak tahu. Semoga uang itu masih cukup untuk makan esok hari, walau hanya dengan sebungkus mie instan. (Yusuf Rinaldy)


Tukang Putu

Malam itu hujan turun rintik-rintik. Udara dingin membuat orang malas keluar rumah. Mereka lebih suka nonton televisi, atau tidur berselimut di kamar. Namun ditengah udara dingin dan hujan rintik-rintik, nampak seorang penjual kue putu sedang menjajakan dagangannya. Bunyi yang keluar dari kukusan, terdengar menemaninya. Itulah bunyi khas tukang kue putu.
Tanpa kenal lelah ia berjalan. Pikulan yang sedari tadi bertengger di pundaknya seolah tak berasa apa-apa. Padahal ia juga seorang manusia yang mempunyai rasa pegal dan capek. Tuhan juga mengaruniai tukang putu itu rasa kantuk. Udara dingin juga bisa membuat kulitnya bergidik. Tidak berbeda dengan orang-orang yang sedang tidur atau nonton televisi.
Akhirnya pundak tukan putu itupun tak kuat menyangga pikulan. Ia harus istirahat. Sebuah gardu terlihat di ujung gang. “Ah akhirnya aku bisa istirahat sejenak,”ujarnya dalam hati. Jam tangan usang di lengan kirinya sudah menunjukkan pukul 8.15 malam.
Tukang putu itu menghela nafas panjang. Ia merogoh saku celananya. Hanya ada beberapa lembar uang ribuan di genggamannya. Sedari sore hari ia berdagang, hanya uang itulah yang diperolehnya. Hujan masih tetap turun. Biarpun tidak terlalu deras, namun sudah cukup membuat orang malas keluar rumah. Tukang putu tak tahu apakah akan kembali memperoleh uang, atau ia harus pulang dengan uang itu.
Sejenak kemudian, terlihat seseorang datang. Sebuah tas yang agak besar tergantung di pundaknya. Tukang koran, orang yang datang itu adalah penjual koran yang baru pulang dari menjajakan dagangannya.
Terlintas di hati tukang putu harapan mendapat rejeki. Dan ternyata Tuhan masih menyayanginya. Penjual koran itu membeli satu bungkus kue putu.
“Baru pulang Mas,” sapa tukang putu.
“Iya,” jawab tukang koran singkat.
“Dagangannya laris ya mas,”
“Ya, Alhamdulillah, sejak pagi tadi banyak yang membeli koran. Orang-orang kepingin tahu tentang kasak-kusuk rebutan kursi presiden. Belum lagi berita tentang orang yang makan orang, atau polisi yang nembak tukang ojek. Terus tentang artis-artis yang kerjanya kawin cerai melulu. Ndak tahu itu, artis kok kerjanya jadi bandar narkoba,”
“Tapi kan sampeyan juga yang senang, banyak orang mencari dagangan sampeyan,”
“Betul, Mas, paling tidak besok pagi anak saya bisa makan kenyang, ndak tahu kalau lusa. Lha sampeyan sendiri bagaimana mas, laris dagangannya,”
Tukang putu menghela nafas. Sambil meracik kue putu, ia melanjutkan obrolannya dengan tukang koran. Nafas panjangnya seolah mengatakan bahwa nasibnya agak beda dengan tukang koran. Sejak lepas Ashar ia berangkat, baru seperempat dagangannya yang laku.
“Biasanya kan kalau dingin-dingin begini orang banyak yang kepingin beli kue putu mas, kan enak buat teman minum kopi,” ujar tukang koran.
“Itu dulu mas, sekarang beda. Sekarang orang lebih suka makan mie instan atau nasi goreng instan semuanya serba instan,”
Tukang koran lalu menerima sebungkus kue putu. Ia pun segera berlalu, pulang dan makan kue putu bersama anak istrinya. Tukang putu kembali dalam kesunyian. Ia angkat pikulan dan kembali berjalan, menyusuri gang dan jalan.
Bunyi kukusan kembali terdengar. Hujan rintik-rintik masih turun menebar hawa dingin. Dan orang-orang makin merapatkan selimutnya, tapi tidak sambil makan kue putu. Mungkin hanya tukang koran yang  saat ini makan kue putu.
Tukang putu terus berjalan. Di depan teras sebuah rumah, ia melihat beberapa orang sedang asyik ngobrol. Tapi sayang, mereka tidak menghiraukan kehadiran tukang putu. Bunyi kukusan berlalu begitu saja. Benar, mereka tidak membeli kue putu. Orang-orang itu berkumpul dengan ditemani sepiring kue. Ada pula yang makan mie instan.
Memang kemajuan jaman telah membuat tukang putu tersingkir. Dagangannya tidak lagi digemari orang. Kalaupun ada yang beli, itu hanya sekali-sekali sekedar ingin tahu rasanya. Kemajuan jaman telah meminggirkan pedagang kue putu. Mungkin juga terjadi pada pedagang kue yang lain.   
Kue-kue toko dan makanan instan lebih disukai, bahkan oleh anak dan istri tukang putu sendiri. “Lalu siapa yang membeli daganganku, apakah setiap hari aku harus pulang dengan hanya beberapa lembar uang ribuan,” tanya tukang putu pada dirinya sendiri.
Entahlah, tulang putu tetap berjalan. Bunyi kukusan, khas tukang putu masih tetap terdengar. Paling tidak bunyi itu membuat kuping tukang putu tidak telalu kesepian. Bunyi itu bukan hanya teman kuping, tapi juga desah nafas tukang putu dan keluarganya.
Tapi sayang, bunyi itu sekarang sudah megap-megap. Kukusan itu tak mampu lagi bernafas panjang. Terbetik pikiran untuk mengganti dagangannya. Tapi tentu tidak segampang itu. Harus berdagang apa.
Tukang putu kembali berjalan. Bunyi kukusan tetap setia menemaninya menyusuri malam. Hujan masih turun rintik-rintik, makin lama semakin besar. Tukang putu berteduh di sebuah warung yang sudah tutup. Jam tangan usangnya sudah menujukkan pukul 10.15 malam.
Tak berapa lama datang seorang penjual bakso. Bunyi mangkuk dipukul nyaring terdengar.  Hujan yang makin deras membuat tukang bakso itu berteduh di tempat itu.
“Kehujanan Mas,”sapa tukang bakso.
“Iya, tadinya sih cuma gerimis, eh malah jadi besar,”
“Tapi dagangannya laris kan mas,”sela tukang bakso
Tukang putu tertawa. Walau terkesan memaksa, tapi cukup menghangatkan udara yang makin dingin. Tukang bakso menyalakan rokok. Tukang putu tidak merokok, karena ia sudah berhenti merokok.
“Wah saya sudah tidak merokok lagi,”jawabnya.
“Menjaga kesehatan ya mas,”
“Bukan begitu, makin lama dagangan saya makin tidak laku. Orang makin jarang makan kue putu, seminggu sekali itupun sudah bagus,”
“Lha terus apa hubungannya dengan sampeyan berhenti merokok,”
“Lho harga rokok kan makin mahal, kalau terus-terusan buat beli rokok lha anak istri saya makan apa,”
Mereka kembali tertawa. Suara tawa mereka masih kalah kencang dibanding suara hujan yang makin deras. Tukang putu tetap tertawa. Walau dagangannya hanya laku seperempat, ia tetap tertawa. Sebab ia tidak tahu apakah besok masih bisa tertawa.
Hujan makin deras.  Tukang putu masih berteduh di warung yang tutup itu. Sebenarnya ia ingin segera pulang. Ia pasrah dengan uang yang diperolehnya. Hujan yang makin deras membuat orang tambah malas keluar rumah, apalagi membeli dagangannya.
Entahlah. Apakah beberapa lembar uang ribuan itu cukup untuk makan istri dan anaknya. Tukang putu tak tahu. Semoga uang itu masih cukup untuk makan esok hari, walau hanya dengan sebungkus mie instan. (Yusuf Rinaldy)

Rabu, 04 Mei 2011

Saat Pagi Beranjak Siang

Pagi itu Rais dan teman-temannya ngopi di warung depan pabrik. Namun tidak seperti biasanya obrolan mereka tidak dipenuhi canda tawa. Obrolan mereka lebih bayak duka. “Kamu sudah itung-itung berapa yang akan kamu dapat,”tanya Jumat kepada Rais.

“Percuma aku ngitung, jumlahnya juga tidak banyak paling-paling hanya cukup untuk makan tiga bulan,”jawab Rais.

Mendung memang sedang menyelimuti pabrik. Rais, Jumat dan kawan-kawannya sangat merasakan arti mendung itu. Mungkin para direktur tidak. Mereka justru melihat mentari pagi bersinar diatas langit pabrik.

Memang semula mendung itu adalah mentari yang bersinar. Saat itu Rais dan kawan-kawannya melihat banyak orang-orang asing datang ke pabrik. Melihat-lihat, tunjuk sana tunjuk sini. Kemudain bule-bule itu rapat dengan direktur. Rais dan kawan-kawannya tetap bekerja. 

“Wah ada banyak bule dipabrik,”sela Joko

“Iya pabrik ini mau dibeli sama bule-bule itu, Jadi nantinya bos kita bukan Pak Handono lagi, tapi bule-bule itu,” timpal Sarpin sambil berlagak sok tahu.

Pembicaraan tentang kedatangan orang-orang asing semakin merebak. Bisik-bisik bahwa pabrik mau di jual kian merebak. Timbul kekhawatiran, bagaimana nasib karyawan. Rais dan kawan-kawan khawatir mereka bakal diberhentikan.

“Kalian jangan khawatir pabrik akan bekerja seperti biasa, tidak ada perubahan,” ujar kepala personalia.

Rais, Jumat, Sarpin dan kawan-kawannya tenang. Canda tawa kembali menghiasi warung kopi depan pabrik. Sepak bola, perang, pencurian, kembali menjadi topik hangat pembicaraan buruh-buruh pabrik itu. Kedatangan orang-orang asing menjadi hal yang biasa, layaknya tamu-tamu kehormatan.

Mesin-mesin pabrik kembali beroperasi. Kendaraan pengangkut hilir mudik. Derunya tetap memekakkan telinga. Asap pabrik tetap mengepul. Asap dapur Rais dan teman-temannya juga ikut mengepul. Kedatangan orang-orang asing yang semakin sering juga tidak mengurangi kepulan asap pabrik. Asap dapur Rais dan teman-temannya juga tidak berkurang.

Orang-orang asing itu kini semakin betah di pabrik. Semula hanya sehari, lalu seminggu, kemudian sebulan, berikutnya berbulan-bulan. Hingga pada suatu hari dipabrik diselenggarakan acara besar. Rais, Jumat, Sarpin, dan teman-temannya ikut membantu menata kursi, memasang hiasan di dinding dan menghias ruangan. “Ruangan ini harus meriah,”ujar seorang staff administrasi.

Rais memasang tulisan-tulisan aneh di dinding. Walau sudah sekolah dan bisa membaca, Rais tetap tidak mengerti arti tulisan itu. “Itu bahasa asing, artinya Selamat Datang,”kata Mbak Warti yang selama ini menjadi sekertaris direktur.

“Lho yang datang siapa dan yang pergi siapa Mbak,”

“Yang datang direktur baru, orang asing, karena itu tulisanya harus sesuai dengan bahasa direktur baru kita,”

Pabrik mempunyai direktur baru, orang asing. Tinggi, hidungnya mancung, rambutnya pirang, namanya aneh. Rais susah mengucapkanya. Tapi lama kelamaan Rais bisa juga mengucapkan nama direktur baru itu.

Pabrik kembali bekerja. Orang-orang asing juga tetap banyak berdatangan. Bahkan beberapa diantaranya menduduki jabatan wakil direktur serta jabatan penting lainnya. Beberapa orang kepala bagian juga digantikan orang bule. “Kita seperti di luar negeri saja ya, setiap hari bertemu bule,”ujar Jumat di warung kopi yang disambut tawa teman-temannya.

Sarpin berdiri dan berbicara dengan gaya dan logat seperti bule-bule itu. Teman-temanya kembali menyambut dengan tawa. Warung kopi pagi itu bergairah, seperti juga diri Rais, Sarpin, dan teman-temannya buruh pabrik itu. Matahari pagi bersinar dihati orang-orang pinggiran ini.

Namun matahari tiba-tiba berubah menjadi panas. Ya, pagi sudah berlalu. Siang datang membakar kulit Rais dan teman-temannya. Siang itu perusahaan mengumumkan bahwa akan dilakukan mekanisasi pabrik.

Dengan terbata-bata dan bahasa Indonesia yang terbatas, direktur mengatakan bahwa persaingan bisnis semakin tajam. Agar perusahaan tidak kalah dalam persaingan maka pabrik harus dimoderenkan. “Saat ini kita tidak hanya bersaing dengan pasar lokal, tapi pasar internasional, pasar dunia,”ujarnya berapi-api dan masih dengan bahasa Indonesia yang terbatas. 

Rais tidak paham dengan bahasa direktur yang orang bule itu. Selain bahasa Indonesianya terbatas, direktur itu juga banyak menggunakan istilah asing. Modern, mekanisasi, lokal, global, dan sebagainya, Rais tidak paham.

Tapi Rais bisa merasakan arti panasnya matahari siang itu. Sengatannya hanya berujung pada satu arti, ia dan teman-temannya akan di PHK, di pecat. Tenaga mereka akan digantikan mesin-mesin. Kabarnya mesin itu didatangkan langsung dari negara asal direktur barunya itu.

Rais hanya tahu bahwa mesin-mesin itu tidak lagi membutuhkan dirinya. Mesin-mesin itu hanya perlu orang pinter yang memencet tombol dan mesin pun berjalan. Rais juga tahu bahwa gaji orang pinter itu sama dengan setahun gajinya, Jumat, Sarpin dan teman-temannya.

Mesin-mesin itu memang bekerja dengan baik. Asap pabrik mengepul. Tapi asap dapur Rais perlahan-lahan hilang. Padam. Rais dan teman-temanya tidak mampu berbuat apa-apa. Perusahaan memang memberikan uang pesangon. Tapi uang tidak tidak cukup untuk mengepulkan asap darpur.

Kini mesin-mesin pabrik mulai menderu. Suaranya begitu kencang seolah menantang suara canda tawa di warung kopi yang mulai sepi. Tak ada lagi canda tawa di warung kopi depan pabrik. Warung itu sepi karena memang tidak ada yang beli. Mesin tidak butuh kopi.

Mendung diatas pabrik sudah menjadi hujan. Air sudah turun. Air mata Rais, Jumat, Sarpin dan teman-temannya. Juga air mata istri dan anak-anak mereka. Mereka menangis tak tahu apa salah mereka. Selama ini mereka sudah bekerja dengan baik. Tenaga mereka berikan kepada pabrik. Keringat sudah mereka kucurkan, tapi mengapa air mata juga harus mereka kucurkan.

Rais diam, tak tahu harus berbuat apa. Oalah Gusti Penjengan mboten sare. Oh Tuhan Engkau tidak pernah tidur. Engkau pasti tahu apa arti air keringat kami, Engkau juga pasti tahu apa arti air mata kami. (yusuf rinaldy)