Kamis, 05 Mei 2011

Tukang Putu


Malam itu hujan turun rintik-rintik. Udara dingin membuat orang malas keluar rumah. Mereka lebih suka nonton televisi, atau tidur berselimut di kamar. Namun ditengah udara dingin dan hujan rintik-rintik, nampak seorang penjual kue putu sedang menjajakan dagangannya. Bunyi yang keluar dari kukusan, terdengar menemaninya. Itulah bunyi khas tukang kue putu.

Tanpa kenal lelah ia berjalan. Pikulan yang sedari tadi bertengger di pundaknya seolah tak berasa apa-apa. Padahal ia juga seorang manusia yang mempunyai rasa pegal dan capek. Tuhan juga mengaruniai tukang putu itu rasa kantuk. Udara dingin juga bisa membuat kulitnya bergidik. Tidak berbeda dengan orang-orang yang sedang tidur atau nonton televisi.

Akhirnya pundak tukan putu itupun tak kuat menyangga pikulan. Ia harus istirahat. Sebuah gardu terlihat di ujung gang. “Ah akhirnya aku bisa istirahat sejenak,”ujarnya dalam hati. Jam tangan usang di lengan kirinya sudah menunjukkan pukul 8.15 malam.

Tukang putu itu menghela nafas panjang. Ia merogoh saku celananya. Hanya ada beberapa lembar uang ribuan di genggamannya. Sedari sore hari ia berdagang, hanya uang itulah yang diperolehnya. Hujan masih tetap turun. Biarpun tidak terlalu deras, namun sudah cukup membuat orang malas keluar rumah. Tukang putu tak tahu apakah akan kembali memperoleh uang, atau ia harus pulang dengan uang itu.

Sejenak kemudian, terlihat seseorang datang. Sebuah tas yang agak besar tergantung di pundaknya. Tukang koran, orang yang datang itu adalah penjual koran yang baru pulang dari menjajakan dagangannya.

Terlintas di hati tukang putu harapan mendapat rejeki. Dan ternyata Tuhan masih menyayanginya. Penjual koran itu membeli satu bungkus kue putu.

“Baru pulang Mas,” sapa tukang putu.

“Iya,” jawab tukang koran singkat.

“Dagangannya laris ya mas,”

“Ya, Alhamdulillah, sejak pagi tadi banyak yang membeli koran. Orang-orang kepingin tahu tentang kasak-kusuk rebutan kursi presiden. Belum lagi berita tentang orang yang makan orang, atau polisi yang nembak tukang ojek. Terus tentang artis-artis yang kerjanya kawin cerai melulu. Ndak tahu itu, artis kok kerjanya jadi bandar narkoba,”

“Tapi kan sampeyan juga yang senang, banyak orang mencari dagangan sampeyan,”

“Betul, Mas, paling tidak besok pagi anak saya bisa makan kenyang, ndak tahu kalau lusa. Lha sampeyan sendiri bagaimana mas, laris dagangannya,”

Tukang putu menghela nafas. Sambil meracik kue putu, ia melanjutkan obrolannya dengan tukang koran. Nafas panjangnya seolah mengatakan bahwa nasibnya agak beda dengan tukang koran. Sejak lepas Ashar ia berangkat, baru seperempat dagangannya yang laku.

“Biasanya kan kalau dingin-dingin begini orang banyak yang kepingin beli kue putu mas, kan enak buat teman minum kopi,” ujar tukang koran.

“Itu dulu mas, sekarang beda. Sekarang orang lebih suka makan mie instan atau nasi goreng instan semuanya serba instan,”

Tukang koran lalu menerima sebungkus kue putu. Ia pun segera berlalu, pulang dan makan kue putu bersama anak istrinya. Tukang putu kembali dalam kesunyian. Ia angkat pikulan dan kembali berjalan, menyusuri gang dan jalan.

Bunyi kukusan kembali terdengar. Hujan rintik-rintik masih turun menebar hawa dingin. Dan orang-orang makin merapatkan selimutnya, tapi tidak sambil makan kue putu. Mungkin hanya tukang koran yang  saat ini makan kue putu.

Tukang putu terus berjalan. Di depan teras sebuah rumah, ia melihat beberapa orang sedang asyik ngobrol. Tapi sayang, mereka tidak menghiraukan kehadiran tukang putu. Bunyi kukusan berlalu begitu saja. Benar, mereka tidak membeli kue putu. Orang-orang itu berkumpul dengan ditemani sepiring kue. Ada pula yang makan mie instan.

Memang kemajuan jaman telah membuat tukang putu tersingkir. Dagangannya tidak lagi digemari orang. Kalaupun ada yang beli, itu hanya sekali-sekali sekedar ingin tahu rasanya. Kemajuan jaman telah meminggirkan pedagang kue putu. Mungkin juga terjadi pada pedagang kue yang lain.   

Kue-kue toko dan makanan instan lebih disukai, bahkan oleh anak dan istri tukang putu sendiri. “Lalu siapa yang membeli daganganku, apakah setiap hari aku harus pulang dengan hanya beberapa lembar uang ribuan,” tanya tukang putu pada dirinya sendiri.

Entahlah, tulang putu tetap berjalan. Bunyi kukusan, khas tukang putu masih tetap terdengar. Paling tidak bunyi itu membuat kuping tukang putu tidak telalu kesepian. Bunyi itu bukan hanya teman kuping, tapi juga desah nafas tukang putu dan keluarganya.

Tapi sayang, bunyi itu sekarang sudah megap-megap. Kukusan itu tak mampu lagi bernafas panjang. Terbetik pikiran untuk mengganti dagangannya. Tapi tentu tidak segampang itu. Harus berdagang apa.

Tukang putu kembali berjalan. Bunyi kukusan tetap setia menemaninya menyusuri malam. Hujan masih turun rintik-rintik, makin lama semakin besar. Tukang putu berteduh di sebuah warung yang sudah tutup. Jam tangan usangnya sudah menujukkan pukul 10.15 malam.

Tak berapa lama datang seorang penjual bakso. Bunyi mangkuk dipukul nyaring terdengar.  Hujan yang makin deras membuat tukang bakso itu berteduh di tempat itu.

“Kehujanan Mas,”sapa tukang bakso.

“Iya, tadinya sih cuma gerimis, eh malah jadi besar,”

“Tapi dagangannya laris kan mas,”sela tukang bakso

Tukang putu tertawa. Walau terkesan memaksa, tapi cukup menghangatkan udara yang makin dingin. Tukang bakso menyalakan rokok. Tukang putu tidak merokok, karena ia sudah berhenti merokok.

“Wah saya sudah tidak merokok lagi,”jawabnya.

“Menjaga kesehatan ya mas,”

“Bukan begitu, makin lama dagangan saya makin tidak laku. Orang makin jarang makan kue putu, seminggu sekali itupun sudah bagus,”

“Lha terus apa hubungannya dengan sampeyan berhenti merokok,”

“Lho harga rokok kan makin mahal, kalau terus-terusan buat beli rokok lha anak istri saya makan apa,”

Mereka kembali tertawa. Suara tawa mereka masih kalah kencang dibanding suara hujan yang makin deras. Tukang putu tetap tertawa. Walau dagangannya hanya laku seperempat, ia tetap tertawa. Sebab ia tidak tahu apakah besok masih bisa tertawa.

Hujan makin deras.  Tukang putu masih berteduh di warung yang tutup itu. Sebenarnya ia ingin segera pulang. Ia pasrah dengan uang yang diperolehnya. Hujan yang makin deras membuat orang tambah malas keluar rumah, apalagi membeli dagangannya.

Entahlah.... Apakah beberapa lembar uang ribuan itu cukup untuk makan istri dan anaknya. Tukang putu tak tahu. Semoga uang itu masih cukup untuk makan esok hari, walau hanya dengan sebungkus mie instan. (Yusuf Rinaldy)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar