Jum’at 5 Februari 2005 lalu DPRD DKI telah menetapkan Perda tentang larangan merokok di tempat umum. Perda ini memuat aturan yang mengharuskan para perokok melakukan hobinya ditempat yang telah ditentukan. Dengan kata lain para perokok dilarang merokok seenaknya di tempat umum. Kita semua, terutama masyarakat yang selama ini merasa terganggu dengan asap rokok menyambut baik pelaksanaan perda ini.
Selain melarang merokok di tempat umum, perda tersebut juga mengharuskan pengelola gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, mall, dan gedung-gedung lainnya menyediakan tempat merokok, mirip seperti yang ada di beberapa bandara.
Kini perda itu telah direvisi dan mengharuskan setiap gedung untuk menghilangkan ruang khusus merokok. Sehingga para perokok harus keluar gedung jika ingin menyalurkan hobi menghisap tembakau.
Saat membaca berita itu saya sedang berada di sebuah mushola di salah satu hotel terkenal di Jakarta. Kebetulan kantor tempat saya bekerja sedang ada acara di hotel di bilangan Sudirman Jakarta itu.
Dalam hati saya berpikir, seandainya ada perda dilarang tidak sholat, tentu akan lebih menggembirakan. Jika perda dilarang merokok mengharuskan pengelola gedung perkantoran, mall, atau hotel menyediakan smoking area, maka jika ada perda dilarang tidak sholat maka pengelola gedung tersebut harus menyediakan tempat sholat yang baik, nyaman, dan mudah ditemukan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di hotel, perkantoran, atau pusat perbelanjaan, tempat yang bernama mushola pasti letaknya di basement, dekat tempat parkir. Tempat yang bernama mushola itu tidak lebih dari sebuah ruang kecil yang di dalamnya digelar karpet dan sajadah. Selanjutnya pada dinding sebalah barat ditempelkan kaligrafi yang menandakan itulah arah kiblat.
Sering saya bertanya, layakkah tempat semacam ini disebut sebagai mushola. Tempat kita sholat menghadap Allah SWT. Karpet dan sajadah yang kumal dan entah berapa lama tidak dicuci, membuat kita kurang nyaman saat menghadap Sang Khalik. Dan yang paling merasa tidak nyaman adalah kaum wanita, terutama yang kebetulah tidak membawa mukena. Pasalnya mukena yang disediakan di mushola itu umumya sudah tidak lagi bisa disebut putih.
Tidak adakah tempat lain yang lebih baik yang bisa digunakan sebagai tempat sholat. Atau pengelola gedung menganggap enteng arti sholat. Mushola di mall, hotel atau perkantoran umumnya sulit ditemukan. Keadaan ini membuat orang menjadi malas untuk melaksanakannya. Kita harus bertanya kepada beberapa orang satpam untuk bisa melaksanakan kewajiban sholat saat berada di mall atau gedung perkantoran. Keadaan inilah yang akhirnya membuat orang melupakan kewajiban itu.
Seandainya ada perda dilarang tidak sholat, maka tempat yang bernama mushola itu tidak lagi sempit, kumal dan susah ditemukan. Mushola akan berwujud ruangan ber-AC yang harum terang dan tertata rapi. Hamparan sajadah dan karpet yang bersih. Musaf Al Qur’an yang tertata dengan apik pada rak yang juga tertata rapi. Dan beberapa mukena putih bersih yang dilipat dan tersimpan dengan rapi. Semoga hal itu bisa tercapai. (yusuf abu alif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar