Rabu, 18 Mei 2011

Menjadi Ayah Yang Baik


Suatu hari saat pembagian rapor sekolah, di sebuah SD nampak berkumpul ibu-ibu wali murid. Tiba-tiba datang sebuah mobil dan turunlah seorang laki-laki setengah baya sambil mengandeng anaknya. Ibu-ibu wali murid langsung kaget dengan datangnya bapak dan anak itu. “Eh tumben ada bapak yang mau mengantar anaknya mengambil rapor, saat hari sibuk begini,”kata seorang ibu. “Belum tentu bu, siapa tahu bapak itu nggak kerja, alias yang mencari duit ibunya,”tukas ibu yang lain.

Sesaat kemudian semua wali murid memasuki ruang kelas dan menerima pembagian rapor anaknya. “Iya-iya, sebentar lagi saya datang. Saya lagi mengantar anak menerima rapor, sebentar lagilah, sepuluh menit lagi sudah selesai kok,” kata sang bapak menjawab telepon dari HP-nya. Sekitar lima menit kemudian, pembagian rapor selesai dan si bapak dengan bangga menerima rapor anaknya yang meraih peringkat dua dikelasnya.

*****

Peristiwa diatas seolah menjadi gambaran bagaimana keadaan hubungan anak orang tua sudah sedemikan parah. Di kota besar sudah bukan barang baru lagi seorang ayah hanya bertemu dengan anaknya seminggu sekali, saat hari Minggi atau hari libur. Itu pun jika sang ayah tidak sedang keluar kota.

Entah apa sebabnya sehingga bapak sebagai pemimpin keluarga seolah melupakan anaknya yang selama ini menjadi tujuan kerja kerasnya setiap hari. “Ah kan ada ibunya dirumah, kan ia sudah sekolah, kalau tidak kerja keras dari mana saya membayar uang sekolah anak saya”, itulah ucapan yang keluar saat sang ayah disodori pertanyaan mengapa sampai tidak pernah sempat menemani anaknya belajar.

Mungkin desakan ekonomi boleh menjadi alasan ketidak sempatan ayah menemani anaknya. Namun seringkali alasan-alasan itu justru dicari-cari sang ayah untuk sekedar menghindari kewajiban mendidik anaknya. Saat ini ada kesan ayah adalah menteri luar negeri yang bertugas mengurus segala hal luar rumah, termasuk mencari uang dan sebagainya. Sedangkan ibu lebih banyak menjadi menteri dalam negeri dengan tugas utama mengurus anak dan rumah. Lebih parahnya lagi saat sang ibu menyerahkan pengawasan anaknya pada seorang pengasuh anak atau pembantu. Lengkaplah sudah kesendirian sang anak ditengah keluarga, padahal seluruh komponen keluarga masih utuh.

Contoh peristiwa diatas menunjukkan bahwa, ayah mengantar anaknya kesekolah adalah sebuah peristiwa langka, bahkan bila perlu harus diabadikan. Memang peristiwa semacam itu sangat langka, itulah sebabnya harus terus dilestarikan. “Waduh kayak budaya tradisional saja perlu dilestarikan”. Lha ya memang hubungan anak-bapak memang sebuah tradisi sejak leluhur kita.

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, utamanya bagi mereka yang dibesarkan di alam pedesaan, bagaimana bapak kita mengajak anaknya bekerja di sawah. Saat bapak sibuk membajak, anak dengan riangnya menaiki punggung sapi atau garu (alat untuk membajak sawah). Atau bapak yang ikut larut dalam kegembiraan bermain layang-layang saat sore hari. Malam harinya bahkan bapak mengajari anaknya mengaji, setelah sholat maghrib berjamaah.

Itu kan dulu, sekarang anak saya bisa mencari hiburan sendiri, ada televisi, VCD, play station, dan permainan lainnya. Saat ini nampaknya peran bapak tidak lebih dari sekadar alat pemenuhan kebutuhan ekonomi anak. Bapak telah melupakan perannya sebagai alat pemenuhan kebutuhan jiwa dan rohani anak. Ironisnya hal itu justru disebabkan oleh perilaku si bapak sendiri. Mereka menganggap anak hanya butuh uang. Padahal anak membutuhkan pendamping, tempat mereka bertanya tentang segala hal yang ditemuinya di luar rumah.

Hilangnya peran pendamping inilah yang menjadi pangkal maraknya kasus kriminalitas remaja, penyalahgunaan narkoba, atau kasus seksual remaja. Anak-anak bertanya pada ‘jalanan’ atas pertanyaan yang muncul di benaknya, dan hasilnya kita tentu sudah bisa menduga. 

Lho kan sudah ada sekolah, ada guru, anak-anak bisa beranya pada mereka dong. Mungkin para orang tua, khususnya bapak lupa bahwa hanya sekitar tujuh jam seorang anak berada di dalam pengawasan sekolah. Itu pun tidak sepenuhnya tugas sekolah, karena orang tua tetap harus ikut mengawasi. Sekolah tidak lebih sebagai tempat anak belajar ilmu-ilmu akademik.

Apa harus saya, kan ada ibunya. Inilah kesalahan terbesar seorang bapak, jika hanya menyerahkan persoalan anak kepada ibu. Anak tidak hanya memerlukan ibu, tapi kedua-duanya. Sinergi antara bapak dan ibu dalam mendidik anak akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri anak. Ia merasa selalu mempunyai tempat bertanya dan pelindung. Inilah yang sebetulnya paling dibutuhkan anak atas orang tuanya, khususnya bapak, perlindungan dan pendampingan, disamping kebutuhan materi tentunya.  

Anak adalah harta terbesar yang dimiliki oleh orang tua. Anak pula sumber kebahagiaan orang tua. Sudah ribuan orang tua yang belimpah harta, namun tetap merasa hampa lantaran anak yang didambakannya tidak hadir dalam kehidupannya.

Jika kita memiliki emas berlian, intan permata tentu kita akan menjaganya dengan baik. Sebagai harta terbesar yang dimiliki sudah sewajarnya jika orang tua menjaganya melebihi harta benda yang dimiliki. Apapun harus dilakukan agar harta terbesar itu tidak lenyap dari diri orang tua.

Memang anak, harta terbesar itu tidak hilang dari pandangan orang tua. Ia tetap hadir dalam keseharian orang tua. Namun kehadirannya hanyalah berisi kehampaan semata, tak lebih dari sekedar bertemu muka. Padahal ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar pertemuan muka antara orang tua dan anak. Itulah pertemuan hati keduanya.

Namun ada kalanya, kekhawatiran orang tua tehadap anaknya terasa berlebihan. Anak dilarang berbuat ini dan itu. Semuanya harus sesuai dengan kemauan orang tua. Akibatnya jiwa anak menjadi terkekang. Ia seolah dikurung di rumahnya sendiri.

Memang boleh-boleh saja orang tua membentuk anak sesuai kemauannya. Namun akan lebih baik jika anak terbentuk menjadi dirinya sendiri. Untuk ini orang tua harus tahu betul apa yang diinginkan si anak. Peran ayah, sangat penting dalam membantu anaknya mencapai keinginananya itu.

Umumnya setiap anak selalu membanggakan figur sang ayah. Dialah orang pertama yang di jandikan contoh oleh anak. Dalam bertingkah laku, anak akan selalu menjadikan ayahnya sebagai rujukan pertama. Bila ia makan, ia akan melihat bagaimana cara orang tuanya makan. Bahkan kapan anak akan bangun pagi biasanya juga meniru jam berapa ayahnya bangun pagi.

Memang sangat besar peran ayah dalam pembentukan jiwa anak. Itulah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kepribadian anak sering sama dengan kepribadian ayahnya. Bila ayahnya gemar beribadah, biasanya si anak akan tumbuh menjadi anak yang gemar beribadah pula. Tapi jika si ayah gemar sekali begadang dimalam hari, anaknya pun akan tumbuh menjadi ‘amari’ alias anak malam hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, bila kita menemui seorang anak yang pintar dan baik, tentu keluar ucapan “anak pak A itu sudah pintar sopan pula”. Namun bila kita menemui anak nakal, pasti kita akan mengatakan “ anak siapa sih ini, nakal betul”. Hal itu wajar sebab tingkah laku anak selalu dikaitkan dengan orang tua.

Anak adalah cermin dari sifat ayah. Jika seorang anak tumbuh menjadi anak yang patuh dan berbakti pada orang tua, maka sifat itu tentu tak berbeda dengan keseharian ayahnya. Demikian pula jika seorang anak menjadi sangat nakal dan bengal, maka hal itu pun tentu tidak jauh dari sifat dan perangai ayahnya.



Sudah saatnya ayah-ayah yang kini masih disibukkan oleh urusan-urusan penting melihat kembali, bahwa ada hal yang lebih penting. Menemani anak memasuki masa remajanya. Kelak ayah-ayah itu akan dengan bangga melepas si anak memasuki usia dewasa, karana tugasnya menemani sudah selesai. Saat dewasa kelak si anak akan mengenang bagaimana dulu sang ayah membimbingnya hingga mencapai keberhasilan. Saat itulah si anak akan berucap, “Terima kasih ayah dan ibu yang telah membimbingku mencapai keberhasilan”.

Tentu semua ayah menginginkan kelak anaknya mengucapkannya. Dan hal itu tergantung bagaimana saat ini sikap sang ayah terhadap anak-anaknya. (yusuf abu alif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar